UPACARA TERAKIR
atawa
sebuah trilogi
monoplay
peristiwa:
Peristiwa
adalah suatu kegiatan atau serangkaian kegiatan yang bisa dijadikan sebagai
opening, atau semacam titik tolak permainan. Suatu kegiatan atau rangkaian
kegiatan yang saling berhubungan, timpa menimpa dalam suatu runtutan tanda dan
bentuk yang tersusun oleh idiom-idiom dramatik. Hal ini diharapkan bisa
menciptakan metafor yang merupakan pantulan dari situasi psikologis dari tokoh
Kebo Bangah juga kondisi eksternal yang dialaminya. Dua wilayah tersebut
menjadi genting ketika dipertemukan sehingga dilema situasi psikologis akan
nampak. Maka monoplay trilogi menjadi satu bentuk dari artikulasi-artikulasi
psiko-fisik tokoh Kebo Bangah.
Adapun tokoh Kebo Bangah bisa
diidentifikasikan sebagai berikut:
"Tuan
Kebo Bangah", lebih cocok demikian bila dipanggil karena ia adalah putra
tokoh pembesar walaupun tidak semua harus dipanggil Tuan, sudah menginjak tua
tapi tubuhnya tetap kokoh setidak-tidaknya sisa-sisa kekokohannya masih tampak.
Sekilas dia nampak keras dan kasar tetapi memiliki sensitifitas keharmonisan
bahkan melankolis. Ditilik dari riwayatnya, kehidupan Tn.Kebo Bangah adalah
kehidupan yang berat dan penuh kontradiksi. Disatu sisi dia telah mencapai
kesuksesan, tentunya setelah melewati perjuangan panjang dan berliku. Dia telah
mengalami kehidupan yang heroik. Setidaknya menurut dirinya sendiri. Akan
tetapi disaat akhir hidupnya inilah dia menemukan kekosongan dan kesia-siaan.
Dia ingin kembali kemasa kemasa awal hidupnya, tetapi tentu saja tidak mungkin,
dan kini kematianpun semakin dekat. Sementara itu kekosongan dan kehampaan
semakin berkerumun tak ampun, dia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan.
Sudah
barang tentu Kebo Bangah memiliki istri bahkan beberapa orang istri yang
dikawini lalu diceraikan. Seorang istrinya (kalau memungkinkan tokoh istri bisa
dimunculkan diawal peristiwa, untuk memperkuat suasana dan membangun konflik)
rela berkorban untuk suaminya walaupun dengan penghianatan-penghianatan. Sebuah
motivasi dibalik situasi psiko-fisik yang tak bisa diraba.
Setting :
Sebagai
seting riil dapat disusun sebebas mungkin, seting riil itu bisa berganti
menjadi imajiner untuk mempertajam tokoh ketika memasuki ruang kenyataan dan
masa lampau yang dibayangkan dan hal ini menjadi satu kesatuan walau dimainkan
oleh tiga tokoh Kebo Bangah, Bendol, dan Sonu). Penjara, Ruang Kantor,
Pelataran Pemakaman, tempat yang
terkesan sunyi, nglangut, dan magis. Cahaya buram memberat bahkan
kelabu. LONCENG BERDENTANG DUA BELAS KALI.
Seseorang :
Siapa
yang baru meninggal ?! Siapa yang baru
saja dimakamkan ? (mengangkat satu kursi keluar) Upacara sudah selesai
(menyeret dua kursi sekaligus) yang pergi meninggalkan luka (melipat dan
mengangkat kursi) yang ditinggal menjadi sengsara (menyeret, menggeser, dan
mengangkat kursi sehingga membentuk irama) Kembalilah ke awal ! kembalilah !
Upacara telah berakhir ! bunga-bunga telah ditebarkan ! pulanglah !
Pulanglah!!!!.
Bagian I Kebo Bangah :
Pak ! ini anakmu, Kebo Bangah. Saya agak
terlambat. Soalnya jalanan macet. Maaf anak-anak tidak bisa ikut. Juga Istri
saya, maksud saya matan simpanan Bapak. Saya sendiri tidak tahu di mana mereka
sekarang. Sebenarnya saya malas ketemu Bapak. Karena Bapak selalu menyalahkan
saya. Saat ini saya tidak tahu apakah saya sedih atau tidak. Kematian bapak
begitu tiba-tiba. Saya tidak tahu apa saya terkejut apa tidak. Maafkan saya
pak, buat apa saya berpura-pura sedih kalau kenyataan saya tidak sedih. Bapak
mengajarkan kejujuran oleh karena itu saya berkata sejujur-jujurnya. Saya tahu
bapak membenci saya, saya juga membenci bapak. Tapi ketahuilah, di mata saya
bapak adalah pahlawan. Seorang laki-laki tulen, bukan banci. Saya sangat
mengagumi bapak, sebagai seorang laki-laki saya sering cemburu dengan bapak.
(tertawa kecil). Saya benci sekali ketika saya mengetahui perempuan-perempuan
yang saya cintai jatuh kepelukan bapak. Bapak memang hebat. Bapak memang
laki-laki yang matang. Mereka selalu puas ketika bercinta dengan bapak. Mereka
mengelinjang-gelinjang, meraung-raung, berteriak-teriak karena puas. Saya benci
mengetahui itu semua tapi juga sekaligus kagum. Saya ingin seperti bapak.
Sekarang bapak sudah tiada, saya sadar, saya tidak bisa menjadi laki-laki
seperti bapak. Bapak bisa membunuh sambil tersenyum. Menyingkarkan orang-orang
yang bapak anggap berkhianat, juga dengan senyum. Bapak bisa menggusur
orang-orang lemah, juga dengan tersenyum. Saya kagum dengan bapak. Bapak bilang
orang lemah itu harus diajari untuk bekerja keras. Bapak bilang agar mereka
kretif, mereka harus ditindas, dianiaya. Benar bapak, mereka tak lebih hanya
kecoa. Binatang melata yang bahkan tidak mengeluh atau memberontak ketika
diinjak. Ini memang keterlaluan. Saya sangat setuju dengan pendirian bapak.
Tapi saya tidak bisa melakukan hal itu. Bagi saya bapak terlalu kuat, bapak
terlalu hebat. Bapak terlalu agung untuk saya tiru. Bapak memang tidak
membutuhkan siapa-siapa. Bapak bisa berdiri sendiri. Sedang saya ? Maka dari
pada saya mengingat-ingat kebesaran bapak, lebih baik saya lupakan saja. Saya
buang jauh-jauh kenangan saya terhadap bapak. Maafkan saya, bapak. Saya harus
membenci bapak. Karena dengan begitu saya bisa melupakan Bapak. Saya akan
mengambil perempuan-perempuan pacar bapak. Saya akan memelihara mereka dengan
cara saya sendiri. Saya akan mengelola baik-baik perusahaan peninggalan bapak.
Tak akan saya biarkan orang lain mengambilnya. Semua itu bapak peroleh dengan
kerja keras. Dengan keringat dan darah. Percayalah saya akan mempertahankannya.
Saya mohon restu. Semoga amal-amal bapak diterima oleh Tuhan. Sekali lagi
selamat jalan, bapak.
Bagian II : Perempuan (istri)
Saya dengar Pak Hakim ! Itulah satu-satunya
kesalahannya adalah, dia mantan suami saya. Dia laki-laki. Laki-laki tak
berguna. Laki-laki bodoh. Dan seperti lazimnya laki-laki dia adalah mahluk yang
dungu. Dungu tapi tinggi hati. Apakah dia bisa berfikir ? (pause) Dia memang
selalu berfikir. Berfikir telah mengalahkan saya. Dia berfikir telah membunuh
saya (pause) Dia juga berfikir bahwa dirinya tidak waras lagi (melakukan
sesuatu). Dia berfikir semua orang senang padanya. Padahal semua orang
membencinya. Dia berfikir dia memiliki istri. Istri yang setia. Dia berfikir
bahwa dirinya laki-laki yang sempurna. Laki-laki yang perkasa joss…(pause)
Padahal dia loyo. Betul, Pak Hakim dia itu ngos-ngos. Dia itu seperti pohon
pisang. Anda sendiri tahu, Bapak Hakim, bagaimana rasanya tidur dengan pohon
pisang (pause). Amit-amit. (terus bergerak). Kami memang punya anak, tapi itu
dulu ! Itupun dengan bantuan orang lain. Ya semacam kerja baktilah (Pause).
Saya mencintainya ? Saya tidak tahu pasti. Saya bisa mengatakan bahwa saya
mencintainya. Tapi kenyataan saya membencinya. Saya benar-benar membencinya.
Hanya satu cita-cita saya Bapak Hakim yaitu membunuhnya. Kenapa kami tidak
bercerai ? Pertanyaan itu salah Bapak Hakim, kami tidak mungkin bercerai. Kami
saling membutuhkan. Maksud saya, dia sangat membutuhkan saya.(pause) Apa, saya
mengalami kelainan sex ! apa buktinya ? Seperti apa !
Bendol Bersaksi:
Seperti yang dikatakan banyak orang, beliau
orangnya sabar. Benar tuan-tuan. Benar Bapak Hakim, beliau orangnya rendah
hati. Beliau sangat menghargai kejujuran. Beliau juga menekankan kejujuran itu
kepada saya selaku pembantunya. Oleh karenanya saya betul-betul menghargai arti
kejujuran di kesaksian saya ini. Adapun mengenai tuan Kebo Bangah pada saat
itu, beliau sedang tidak ada di tempat. Adapun kemana beliau saya tidak tahu
pasti. Kepribadian tuan Kebo Bangah ? Tentu saya paham, dan bahkan sangat
paham. Beliau memang sangat kaya. Hidupnya sederhana. Beliau hidupnya
sederhana. Beliau banyak beramal. Banyak memberi sumbangan. Beliau orangnya
humanis. Sangat respek terhadap nasib orang kecil. Banyak yang beliau tolong,
termasuk saya. Beliau mengajari saya bekerja keras. Dalam hal disiplin beliau
memang tidak mengenal ampun. Kadang-kadang bahkan sangat kejam. Saya bangga
terhadap beliau termasuk kepada Bapak beliau(pause). Apakah beliau suka
membunuh ? Yang saya tahu. Berkali-kali beliau berkata kepada saya bahwa sejak kecil
cita-citanya adalah membunuh. Berkali-kali beliau berkata kepada saya bahwa
beliau telah membunuh Bapaknya. Beliau juga berkali-kali bilang kepada saya
bahwa beliau telah membunuh istrinya. Semua itu beliau lakukan karena ingin
masuk penjara. Tentu saja beliau tidak pernah masuk penjara. Mana mungkin
beliau masuk penjara. Ya karena beliau tidak pernah membunuh (tertawa). Betul
Bapak Hakim. Beliau tidak akan sanggup membunuh. Yang tidak saya mengerti
sampai sekarang adalah cita-citanya untuk masuk ke dalam penjara. Sampai
sekarang beliau berangan-angan masuk penjara. Maka tolonglah Bapak Hakim,
jebloskan beliau ke penjara. Beliau sekarang sudah sangat capek. Kasihan beliau
Pak Hakim. Sekian Bapak Hakim terima kasih.
Perempuan (istri) Kebo Bangah :
Baiklah kalau itu yang Bapak Hakim
kehendaki. Saya akan bicara. (mengambil pisau) Dengarkan tuan-tuan, kali ini
saya tidak akan mengalah, saya tidak takut denga intimidasi. Saya sudah siap
dengan segala resiko. Seandainya saya harus mati, saya tidak takut. Dengarkan
baik-baik, beginilah kejadian yang sesungguhnya. (pause).
Saat itu tengah malam. Lonceng berdentang
dua belas kali. Saya membukakan pintu. (bergerak) Saya menyambutnya. Saya
menciumnya. Saya tidak mau menatap wajahnya. Dia juga tidak mau menatap saya. Napasnya
terengah-engah. Saya terangsang. Saya menghadap cermin (bergerak ke cermin)
Saya menggigil. Saya tidak melihat dia melepas pakaiannya. Saya tidak melihat
dia bersemedi. Saya berhias (berhias). Saya memakai lipstik. Saya gosokan
parfum disekitar telinga dan dada. Payu dara saya meruncing. Meruncing dan
semakin keras (terengah-engah). Saya benar-benar bergairah. Saya terkapar.
Tangan saya terbuka kaki saya terbuka (semakin terengah). Mata saya terpejam.
Saya menagis. Saya angkat kaki saya. Saya angkat pinggul saya. Dan tiba-tiba
dia menindih saya. Menjambak rambut saya. Saya benar-benar bergairah. Seluruh
tubuh saya terbakar (pause). Dia bangkit lalu duduk di samping saya. Mata saya
terpejam. Tangannya meraba kaki saya, betis saya, paha saya, perut saya, dada
saya, leher saya, hidung saya, pipi saya, bibir saya, tengkuk saya.
Perlahan-lahan. Sangat perlahan-lahan. Saya berkonsentrasi penuh untuk
menikmatinya. Lalu dia mengulum jari-jari kaki saya, telapak kaki, betis, paha
bagian dalam, pusar, buah dada saya, putingnya dia lumat-lumat, lalu ke ketiak,
punggung, leher, pipi, alis, hidung, telinga, dia mengangkat tubuh saya,
memangkunya, menghisap tengkuk saya, mengecup punggung saya, membentangkan
tangan saya, lalu kami berdiri, membungkuk saling bersujud, lalu menempelkan
lidah, mengunyah-ugunyahnya, dia terus menjilati saya, di bagian paha, paha
bagian dalam, naik, naik, naik, dan berputar di pusat kontemplasi. Saya putar
pinggul saya keras-keras, semakin keras, dan semakin keras. Saya berteriak,
semakin keras dan semakin keras, kami saling memagut, menerkam, membanting,
memiting, menyengat. Seperti mesin diesel, menderu-deru, seperti bor, seperti
gasing, seperti tombak, mengempas-hempas, seperti gilingan, seperti denguangan
lebah, memutar-mutar (mulai menari berputar) saling menggigit, meraung, ludes,
mendidih, seperti ketel, melengking-lengking, ah, ah, lutut saya lecet
menggesek karpet, punggung saya berdarah kena sudut meja, saya berteriak-teriak
(berteriak), hitam, hitam, merah, merah, biru, biru, saya menangis, menangis
keras, saya berteriak sekuat tenaga, tangan saya mengepal, memekik, seperti
orang kampanye. Kaki saya menendang-nendang, dada saya penuh cairan, musik
semakin keras, Beethoven………Linkin
Park . Mengesek-gesek
biola, biola di antara paha saya, senarnya putus, semakin keras, semakin keras,
perut saya penuh cairan, cairan hangat, saya memukul-mukul dadanya, saya
menggigit pundaknya, semakin keras, semakin keras, cairan semakin banyak,
semakin panas, saya berteriak lagi, panjang, sanagt panjang, lalu terhempas,
terlentang. (terengah-engah). Cairan……cairan…di mana-mana cairan…
darah….darah…di mana-mana. Darah. Di kaki, di leher, di perut, di paha, di
perut darah….darah…..lantai penuh darah….. Dia tertelungkup. Pisau menghujam
perutnya.
Ya, saya telah membunuhnya. (sempoyongan)
Jadi tidak benar kalo dia mati bunuh diri.
Apalagi dia mati karena di bunuh Kebo Bangah. Saya telah membunuhnya. Dengan
pisau ini ditambah dengan pistol miliknya. Benar tuan-tuan saya menembaknya
juga karena saya belum puas membunuhnya. Di kamar saya. Saya membunuhnya sambil
bersetubuh. Saya sebenarnya ingin memotong alat vitalnya, tetapi saya tidak
bisa. Berkali-kali saya hendak memotongnya, tetapi dia selalu berhasil
mengelak. Maka saya tusuk saja jantungnya dan setelah tubuhnya terkulai di
lantai sambil mengerang, saya semakin geram maka saya hujani lagi kepalanya
dengan beberapa kali tembakan. (pause) Ya begitulah bapak hakim saya telah
membunuh suami saya. Maksud saya, bekas suami saya. Maka, hukumlah saya, bapak
hakim. Tolonglah saya bapak hakim. Hukumlah saya seberat-beratnya (tergugu)
masukan saya ke penjara. (jatuh berkelotak seperti batu)
PERISTIWA: SETELAH LAMPU MENYUSUT BENDOL
DAN SONU DATANG MENABURKAN BUNGA. JAM DUA BELAS KALI. SUASANA PERHELATAN
LAYATAN SENDU NAMUN KERAS. KASIH HINGGA KEBENCIAN JADI SIMBOL ARTIKULASI.
BENDOL DAN SONU
Aku menziarahimu dari segala penjuru.
Menggali kuburmu dalam jiwaku. Aku haturkan sepenuh kerinduan pada nisan di
kepalaku. Menimbun dengan daun-daun yang berguguran memenuhi halaman
ingatan-ingatan. Angin dan hujan yang telah membasahi tubuhmu dalam harum
bunga-bunga. Kubaringkan tubuhku bersama tubuhmu dalam kehangatan hari-hari
paling sunyi.
Cinta dan kekuatan ada padamu. Engkau telah
mengisi ruang-ruang yang paling sederhana. Engkau lahir dan tertidur dengan
segenap keluasaan. Sebagaimana samudera yang telah mengajarkan karang menjadi
karang. Sebagaimana buih yang membasahi tepian-tepian. Sebagaimana pasir yang
menjadi hamparan-hamparan.
Aku telah menjadi perahu yang melesat menembus
batas-batas. Menembus antara waktu. Dinding kesepian dan kegundahan. Seperti
engkau, aku telah menempuh jalan tanpa rintangan. Mabuk dalam pengharapan dan
pesta-pesta. O, cintaku ingin kuputar jarum-jarum jam. Agar telingaku tak lagi
berdarah darah. Agar tak kutemui bentuk tanpa rupa. Menjangkau ke negeri asing
menyambut belaian dan dongeng-dongeng. Betapa kesaksian tengah menari-nari
mengurai sampur yang kian lelah (melemparkan kain ke arah perempuan yang
tergeletak). Dan aku telah memainkannya.
Aku telah menjelma bapak yang menempuh
ribuan kilometer jarak. Menimang-nimang si buyung di gendongan. Meninabobokan
sampai ia terlelap. Setelah terjaga, dia berlari. Berlari dan terus berlari ke
puncak bukit. Diterbangkan angin dan hujan keemasan. Kepalanya dipenuhi mahkota
dan baju terompah raja-raja. Aku meraihnya, tapi ia berkata "istirahatlah
bapak, aku bisa menjaga diri". O, buyung engkau tak mengira badai hitam
berdiri dibalik punggungmu. Menghunus kedengkian dan tipu daya. Menutup mata
dan telinga. Menghembus ubun-ubunmu laksana aroma naga. Oh ! aku telah menjadi
bapak durhaka.
Sejak aku mengelinding membentur
jurang-jurang. Sejak aku dihujamkan. Kulilitkan kain putih sebagaimana aku tak
pernah dilahirkan (melilitkan kain ke perempuan). Kurangkaikan catatan dan
kesaksian. Aku terjerat sang perkasa. Ia tak bisa aku bawa ke atas altar
persembahan. (menyeret-nyeret tubuh perempuan) Di sekelilingnya berdiri
tiang-tiang menjulang. Aku hanya bisa berdoa, akankah ia ditimbun negeri porak
poranda.
Tak perlu menabur bunga. Karena aku seorang
nista. Aku hanyalah bapak yang merelakan anaknya terlunta. Aku menjadi jiwa
yang tak menimbang rasa. Aku menangis bersama kepergian. Meninggalkan jejak
pada lembar-lembar terserak. Aku tak ingin dipuja. Kenanglah aku sebagai bapak
yang telah melahirkan anak-anaknya.
Aku akan mengalir menjadi air. Tak ada
kembang atau belasungkawa serta kedudukan berlama-lama. Karena aku di bawah
garis nasib. Karena aku di bawah langit. Karena aku di atas bumi. Kerena aku di
bawah langit kesaksian.
Bagian III Kebo Bangah :
Jam berapa ini ? (melihat arloji) Pada saat-saat seperti ini
saya pasti lupa waktu. Pada saat-saat seperti ini, arloji ini pasti mati.
Padahal ini arloji bagus. Arloji mahal. Arloji baru. Buatan Swiss. Ini bukan
arloji sembarangan. Semua orang tahu, saya tidak mungkin membeli barang murahan
saya tidak mungkin membeli barang rongsokan. Termasuk arloji ini. Tapi pada
saat-saat seperti ini pasti mati. Pada saat-saat yang lain, pasti normal.
Apa-apaan ini.
Bendol! Sonu! Bendol! Bendol! (pause). Sudah tidak ada
siapa-siapa. Pasti mereka semua sudah pulang. Kalau belum pulang mereka pasti
ada di sini. Sonu! Bendol! Jam berapa ini? (pause)
Seharusnya aku memang tidak berada di sini. Di ruangan ini.
Duduk, membaca, berfikir, menulis, membaca, makan, minum, berfikir, membaca,
menghitung, menulis, membaca, merokok, menghitung, membaca…….apa-apaan
ini.(pause) Tapi siapa yang menyuruh aku tetap di sini ? Tidak ada. Tidak ada
yang menyuruh dan tidak ada yang mengawasi. Tapi aku tetap di sini. Ini memang
konyol. Betul-betul konyol. Dan aku tahu bahwa ini sangat konyol.(pause) Tidak
apa-apa. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku memang harus tetap di sini.
Aku ingin semua tetap berlangsung sebagaimana mestinya (pause) sebagaimana
mestinya. Dan sudah semestinya jika aku tetap di sini. Di ruang ini. (Pause)
dari ruang inilah semuanya dimulai. Sejak bertahun-tahun yang lalu.
Berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dari ruangan inilah aku mengendalikan semuanya.
Aku tak perlu mencari tempat lain. Di sini saya berfikir, bertindak,
berkontemplasi, berfikir dan bertindak lagi. Buat apa aku susah untuk mencari
tempat lain ? Aku tidak akan kemana-mana. Aku tidak ingin kemana-mana. (Pause)
Sonu! Sonu! Bendol! (pause) Jam berapa ini. Pasti sudah larut
malam. Atau bahkan sudah pagi. Tapi apa bedanya? Apa bedanya siang atau malam?
Aku sudah terbiasa untuk tidak membedakan antara siang dan malam. Bagiku sama
saja. Yang ada adalah kerja. Kerja. Kerja dan kerja. Ini yang kulakukan selama
bertahun-tahun. Berpuluh-puluh tahun. Dan aku bahagia. Aku berhasil. Aku
berhasil karena kerja keras. Yang aku capai sekarang karena aku kerja keras.
(pause. Bergerak kesana kemari)
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan selain kerja. Bahkan
aku tidak bisa membayangkan. Bagaimana hidupku jika tidak bekerja. Mencari
hiburan? Aku sudah bosan. Mungkin inilah hiburanku. Kerja. Kerja dan kerja.
Tapi mereka bilang aku berlebihan. Mereka bilang aku mengada-ada. Mereka bilang
aku sukses karena nasib baik. Mereka tidak tahu apa yang aku lakukan sebelum
berada di sini. Aku memulainya dari bawah. Aku berangkat dari nol. Merangkak
dengan susah payah. Jatuh, bangun, jatuh, bangun, jatuh, dan bangun lagi.
Begitu terus, sehingga aku mencapai puncak.(pause) Sekarang aku ada di sini.
Lalu mereka bilang aku sukses karena nasib baik. Ku akui aku memang tak
sepenuhnya bersih. Aku memang sering main kayu. Tapi mana mungkin kita bisa
sukses jika tak punya nyali. Siapapun tahu kita hidup di hutan rimba. Siapa
yang kuat pasti menang. Dan aku telah membuktikannya. Aku harus bekerja ! ya.
Aku akan tetap bekerja (membuka-buka berkas) Bubrah! Bubrah! Saya tidak suka
semacam ini. Semua serba terburu-buru. Kenapa tidak bisa sedikit sabar. (Pause.
Mengambil nafas panjang. Mencoba tenang. Menyulut rokok dan kembali membuka
berkas dengan perlahan dan membacanya)
(membaca) Di balik tumpukan batu barangkali ada kata-kata yang
sedang mencari dirinya sendiri. Tukang sampah selalu memberi kesaksiannya yang
terakhir, lalu tak pernah kembali. (lembaran kertas di lemparkan) Oh, lihatlah,
di belakang gudang hijau ini, seorang gadis terbaring dengan payungnya. Tentu
saja kita tak tahu tukang cukur telah menggundulinya sehabis bersenggama.
Lihatlah dia berbicara dengan gairah di pahanya. (pause) Apa arti semua ini ?
(kembali kertas dilemparkan) Saatnya sudah tiba. Lampu jalan menyemburkan
gerimis. Sepatu-sepatu digantung di atap. Kendaraan di parkir rapi. Gadis-gadis
menelpon kekasihnya. Koran terlambat datang. Buku-buku dan sekolah dibakar.
Pintu gerbang digembok. Taman-taman ditimbun. Trotoar sepi. (membuang kertas).
Ini benar benar konyol. Surat
kematian !?. Ya. Surat kematian ada juga
yang memerlukan surat
semacam ini. Oh. Rupanya ada surat
wasiatnya. (membaca surat
wasiat). Dengan ini secara resmi dinyatakan bahwa Mahendra Sugriwo bin Bethem
alias Kebo Bangah meninggal dunia pada hari Sabtu wage, bulan syawal (pause)
Apa artinya semua ini ? (membuka-buka kembali berkas) Kematian. Kematian.
Kematian (Panik.Membuang berkas-berkas)
(Terdengar gebrakan) Sonu! Bendol! (pause) Mereka semua
pengecut. Banci. Kalau jentelmen, pasti berani berhadapan secara
terang-terangan. Tidak sembunyi-bunyi. Tidak main kucing kucingan. Menusuk dari
belakang. (pause) Mereka pikir aku takut. Aku sudah kenyang dengan pertarungan.
Aku tidak ragu ragu. Mereka pikir aku bisa disingkirkan begitu saja (tertawa)
Oh, kalian memang kampungan. Sebelum kalian menyingkirkan diriku, aku akan
menyingkirkan kalian. Kalian akan kugilas habis. Kalian tidak bisa diajak
kompromi (pause).
(Terdengar Gebrakan) Bangsat ! baik. Baiklah. Kalau ini yang
kalian inginkan, akan aku layani. Aku tidak segan-segan bertindak brutal.
Siapapun yang menantangku. Akan kusikat habis. Camkan itu. Aku memperoleh sumua
ini dengan keringat dan darah.
(Terdengar Gebrakan) Bajingan ! Kalian memang tidak tahu diri.
Kalin tidak tahu siapa saya. (suara-suara semakin gaduh dan keras). Baik ! Saya
sudah siap. Mari kita bertaruh ! (Gebrakan keras terdengar. Kebo Bangah panik.
Muncul Bendol)
1.
KEBO BANGAH : Apa yang
mereka inginkan. Apa yang mereka lakukan
2.
BENDOL :
Siapa yang tuan maksud?
3.
KEBO BANGAH : Apa kamu
tidak bertemu mereka?
4.
BENDOL :
Tidak
5.
KEBO BANGAH : Mereka
memang pengecut.
6.
BENDOL : Di
luar tidak ada siapa-siapa.
7.
KEBO BANGAH : Apa kamu
tidak mendengar sesuatu ?
8.
BENDOL :
Tidak
9.
KEBO BANGAH : Tidak ?
Apakah kamu tidak mendengar panggilanku ?
10.
BENDOL :
Tidak
11.
KEBO BANGAH : Kenapa
tidak mendengar ?
12.
BENDOL : Kalo
tidak salah saya tidur. Saya tertidur
13.
KEBO BANGAH : Tidur ?
14.
BENDOL : Saya
tidak sengaja tidur.
15.
KEBO BANGAH : Tidak
sengaja ?
16.
BENDOL : Saya
pikir begitu.
17.
KEBO BANGAH : Kamu tahu
perbuatanmu itu tidak sopan.
18.
BENDOL :
………….
19.
KEBO BANGAH : Saya bilang
perbuatanmu itu tidak
sopan. Saya di sini
tidak tidur, kamu di sana tidur. Aku di sini
sengaja tidak tidur. Kamu di sana
sengaja tertidur. Apakah itu pantas ?
20.
BENDOL :
Tidak
21.
KEBO BANGAH : Apakah itu
sopan ?
22.
BENDOL :
Tidak
23.
KEBO BANGAH : Apanya yang
tidak ?
24.
BENDOL : Tuan
menganggap bahwa tidur itu tidak pantas
25.
KEBO BANGAH : Dan kamu
menganggap bahwa tidur itu pantas. Begitu?
26.
BENDOL :
(berfikir) Tidak.
27.
KEBO BANGAH : Tidak !?
28.
BENDOL :
(Menggeleng)
29.
KEBO BANGAH : (
memandang bendol dengan
penuh kemarahan ) Sudah
berapa tahun kamu di sini ?
30.
BENDOL :
Saya lupa, tuan.
Kalau tidak salah
semenjak saya
berumur lima belas
tahun. Bahkan sebelum
tuan lahir.
31.
KEBO BANGAH : Lalu kenapa
kamu berani berbohong kepada saya.
32.
BENDOL : Soal
apa tuan ?
33.
KEBO BANGAH : Soal diri
kamu
34.
BENDOL : Saya
tidak mengerti ?
35.
KEBO BANGAH : Apa yang
kamu mengerti ?
36.
BENDOL :
…………….
37.
KEBO BANGAH : Apa yang
kamu lakukan di sana
?
38.
BENDOL :
Menunggu panggilan tuan.
39.
KEBO BANGAH : Menunggu
panggilanku !?
40.
BENDOL :
Menunggu perintah tuan.
41.
KEBO BANGAH : Menunggu
perintahku !?
42.
BENDOL :
Mencatat kata-kata tuan.
43.
KEBO BANGAH : Mencatat
kata-kataku
44.
BENDOL :
Menyediakan kebutuhan tuan
45.
KEBO BANGAH : ………………
46.
BENDOL :
Menjaga pintu
47.
KEBO BANGAH : Menyiapkan
makan
48.
BENDOL :
Menyiapkan makan
49.
KEBO BANGAH : Membeli
rokok. Mana rokok ? Rokokku habis…
50.
BENDOL : (
memberikan rokok dan
menyulutkannya )
Menyiapkan pakaian.
51.
KEBO BANGAH :
Menyemir sepatu. Jangan
lupa Bendol menyemir
sepatu !
52.
BENDOL :
(Tertawa kecil) Mengusir tamu.
53.
KEBO BANGAH : (Tertawa)
Kecuali yang perempuan. ( Pause)
Brengsek ! Kenapa akhir-akhir
ini mereka tidak pernah ke sini.
54.
BENDOL :
Siapa yang tuan maksud ?
55.
KEBO BANGAH : Para penjilat itu !
Para pelacur itu ! (pause) Mana
Sonu ? Sonu….. Sonu ! (berteriak)
56.
BENDOL : Biar
saya panggil ( Sonu masuk tergopoh-gopoh)
57.
KEBO BANGAH : Dasar kere
yang pantas kalian
lakukan memang tidur.
Kalian memang pantas untuk
tidur, sedang aku tidak. Aku sudah lupa rasanya tidur. Bahkan aku sudah lupa
caranya bermimpi. (pause) Jam berapa sekarang ?
58.
SONU :
Saya tidak tahu.
59.
KEBO BANGAH : Tidak tahu
!
60.
SONU :
…………….
61.
KEBO BANGAH :
Seharusnya kalian tahu.
Apa yang tidak
aku ketahui,
seharusnya kalian tahu !
62.
SONU :
(Terbata-bata ketakutan) Kalau tidak
diberitahu, pasti
saya tidak tahu.
63.
KEBO BANGAH : Arlojiku
mati.
64.
SONU :
Barangkali jam dua, kalau tidak jam dua, pasti jam dua
belas.
65.
KEBO BANGAH : Siang apa
malam.
66.
SONU :
Barangkali malam.
67.
KEBO BANGAH : Malam ?
68.
SONU :
Kalau tidak siang ya malam.
69.
KEBO BANGAH : Apa bedanya
?
70.
SONU :
……………
71.
KEBO BANGAH : Kalian tahu
sejak kapan aku berada di sini ?
72.
BENDOL :
Sejak tuan menjadi buron
73.
KEBO BANGAH : Sejak kapan
aku berani memutuskan bahwa aku lebih
baik mejadi buron ?
74.
BENDOL :
Sejak ayah tuan meninggal
75.
KEBO BANGAH : Bukan
meninggal ! Tapi dibunuh.
76.
SONU :
Itu masa lalu tuan. Toh si pembunuhnya telah
mati di
tiang gantungan.
77.
KEBO BANGAH : Kalian tahu
siapa pembunuh ayahku ? akulah yang
membunuhnya.
78.
SONU :
……………….
79.
KEBO BANGAH : Kalian
tidak percaya ?
80.
SONU :
Tuan sudah berkali-kali menceritakan hal itu.
81.
KEBO BANGAH : Kalau kalian
sudah tahu bahwa
aku yang membunuh
ayahku kenapa kalian tidak
melaporkannya kepada polisi. Atau setidak-tidaknya, apakah tidak ada niatan
sedikitpun pada kalian untuk menceritakan pada orang lain ? atau membongkar
rahasia ini ?
82.
SONU :
Tidak
83.
KEBO BANGAH : Kenapa ?
84.
BENDOL : Dia
bukan ayah tuan
85.
KEBO BANGAH : Dari mana
kalian tahu
86.
BENDOL : Tuan
sudah berkali-kali menceritakan pada kami
87.
KEBO BANGAH : Karena
kalian terlibat dalam pembunuhan itu (Tertawa)
88.
BENDOL : Itu
juga sudah sering tuan katakan
89.
KEBO BANGAH : Dia memang
pantas untuk dibunuh
90.
BENDOL : Tuan
keterlaluan !
91.
KEBO BANGAH : Dia itu
arogan, lupa diri, congkak, dan serakah.
92.
BENDOL : Dia
tidak berbuat apa-apa terhadap tuan
93.
KEBO BANGAH : Aku membunuh karena memang harus membunuh,
coba kalau dia dibiarkan hidup terus, apa yang akan terjadi,
malapetaka. Dia sudah tidak perduli dengan masa depannya, apalagi masa depan
orang lain. Kalau aku tidak mengambil alih, kita semua akan hancur. Bisa-bisa
akupun akan ikut masuk penjara. Maka aku harus mengambil keputusan. Dan keputusan
yang terbaik adalah menyingkirkannya. Kita semua hanya bisa selamat jika dia
dibunuh, dan aku telah melakukannya. Aku telah menyelamatkan masa depan orang
banyak, menyelamatkan kalian. Aku telah terlanjur mengambil keputusan. Aku
telah bertindak. Dan sekali bertindak
aku tidak boleh berhenti. Dulu kalian juga yang menyuruh aku
melakukan tindakan itu ?!
94.
BENDOL : Tapi saya tidak berfikir sejauh
itu.
95.
KEBO BANGAH : Sama saja,
tindakan adalah tindakan. Akibatnya sama.
Dan dalam bertindak aku tidak
pernah ragu-ragu, aku tidak mau melakukan sesuatu setengah-setengah. Siapa yang
mencoba menghalangi akan aku babat.
96.
BENDOL :
Tuan keterlaluan, bagaimanapun ayah
tuan tidak
seburuk yang tuan kira.
97.
KEBO BANGAH : Kalian tahu
aku sudah terbiasa
dengan hidup keras,
maka aku akan bertindak keras
kepada siapapun.
98.
SONU :
Tuan akan meyesal.
99.
KEBO BANGAH : Mereka yang
akan menyesal.
100.
BENDOL : Tuan
Sudah capek sebaiknya tuan istirahat.
101.
KEBO BANGAH : Aku tidak
pernah istirahat.
102.
SONU :
Kalau begitu silahkan tuan melanjutkan pekerjaan saya
akan pergi.
103.
KEBO BANGAH : Kamu mau
pergi kemana ? Mengikuti ayahku ?
104.
SONU :
Mereka orang-orang baik.
105.
KEBO BANGAH : ( Meledak
dan marah ) Kalian memang tidak berbeda
dengan mereka Aku sudah menduga
bahwa kalian berdiri di pihak mereka. Aku tahu dari gerak gerik kalian dan
sorot mata kalian, apa yang kalian rencanakan ? (pause) Baik. Pergilah ! Aku
bilang pergi ! Tinggalkan aku, aku tidak takut sendiri. Apa yang kalian tunggu
! Baiklah, baiklah kalau begitu. (Mengeluarkan pistol dan mengarahkannya kepada
Sonu dan Bendol) Aku sudah menyuruh kalian pergi namun kalian tidak
melakukannya, waktu kalian sudah habis. (Bendol & Sonu gugup ketakutan)
Kalian tidak perlu takut, ini tidak akan sakit. Duduk ! (keduanya duduk) Berdiri
! (keduanya berdiri) Ke sana
! Ke sini ! Mana mulut kalian. Buka lebar-lebar ! Tertawa ! Ayo tertawa !
(keduanya menangis) Aku bilang tertawa (menagis) Sekali lagi aku bilang tertawa
! ( Mulai tertawa dan menagis). Jongkok ! Tiarap ! (tiarap) Angkat pantat
(Mengangkat pantat) Turunkan ! Angkat lagi ! Cepat ! Lebih cepat ! Jongkok !
Berdiri ! Ayo hitung ! Satu ! ( mengikuti) Dua ! Tiga ! DOOR ! (Bendol dan Sonu
berteriak ketakutan. Sementara Kebo Bangah tertawa terpingkal-pingkal)
Bangunlah .…… ayo bangun ( tertawa )
mari merokok. Santai saja (Mereka menerima rokok. Kebo Bangah masih tertawa
akhirnya bendol dan Sonu ikut tertawa) kalian ingat bagaimana dulu ayahku
ketika aku bunuh. Persis seperti sekarang ini. Dia tertawa aku juga tertawa,
iya kan ?
Saat itu dia duduk di sini, minum segelas bir dan merokok. Duduklah di sini, ya
begitu. (Sonu duduk di kursi) Aku disini memain-mainkan pistol sementara dia
masih tertawa, kalian pasti masih ingat peristiwa itu, iya kan ? Coba apa yang dikatan pada saat itu ?
106.
SONU :
Kamu memang bajingan.
107.
KEBO BANGAH : Tidak
begitu, suaranya kurang keras.
108.
SONU :
Kamu memang bajingan !
109.
KEBO BANGAH : Ya,
bajingan ketemu bajingan !
110.
SONU :
Dan kamu telah melakukan yang tak terampuni,
apa yang
kamu lakukan padanya. Kamu
menidurinya bukan ?
111.
KEBO BANGAH : Dia yang
meniduriku.
112.
SONU :
Kamu boleh melakuan
apa saja, saya
tidak akan turut
campur. Tapi untuk yang satu
ini, saya benar-benar tak bisa mengampuni. Kamu terang terangan menghina saya.
Kamu menantang saya !
113.
KEBO BANGAH : Mabuk ! Dia
mabuk !
114.
SONU :
Kamu memang tidak
tahu diri. Seharusnya kamu
tahu
bahwa tanpa nasib baik kamu
tidak akan jadi seperti ini. Bukan. Bukan nasib baik, tapi karena kamu
memanfaatkan nama besar ayahmu. Tapi apa yang aku dapat, anakku kini jadi bajingan.
115.
KEBO BANGAH : Karena
bapaknya adalah bajingan.
116.
SONU :
Siapa bapakmu ?
117.
KEBO BANGAH : Semua
bajiang adalah bapakku.
118.
SONU :
Kamu telah mendapatkan
semuanya, kamu bisa berbuat
apa saja. Tapi kamu harus
ingat, untuk menjadi seperti diriku, kamu harus menunggu bertahun-tahun. Aku
tahu apa yang ada dalam pikiranmu, kamu sudah tidak sabar duduk di tempatku
ini. kamu tidak pantas duduk di sini. Kamu belum mampu, karena kamu memang
belum mampu. Lalu sekarang kamu mau menyingkirkan aku. Ayo. Kalau kamu sanggup.
Lakuakan !
119.
KEBO BANGAH : Aku sedang
melakukannya ( Menodongkan pistol )
saya
tahu, tidak ada yang gratis,
segala sesuatu harus ada bayarannya. Dan kali ini nyawa adalah bayarannya.
120.
SONU : (
Tertawa ) Rupanya perempuan telah
mengajari kamu
dengan sangat baik, aku
benar-benar cemburu. Kamu tidak akan bisa melakukannya. Ayo ! Ini aku, ini
dadaku. Tatap mataku ! Lihat baik baik.
121.
KEBO BANGAH : Aku akan
membunuh anda.
122.
SONU :
Itu bagaus kalau kamu benar-benar bisa melakukannya.
123.
KEBO BANGAH : Tidak akan
aku lakukan sekarang. (meletakan pistol)
124.
SONU :
Kalau begitu biar aku yang membunuh kamu (mengambil
pistol lalu (mengarahkannya)
Dengar baik-baik aku sudah lama melihat kebencian dalam hatimu, sama dengan
yang kurasakan. Sejak kamu beranjak dewasa dan sanggup memimpin beberapa
perusahaan, dalam hatiku telah timbul kebencian dan kecemasan. Aku tidak bisa
membohongi diriku sendiri, ancaman terbesar bagi diriku adalah kamu. Maka aku
harus menyingkirkan dirimu. Aku akan membunuhmu (Kebo Bangah makin panik)
kebencian tela mencapai puncaknya tak ada obatnya selain membunuh kamu. Kamu
sengaja memancing kemarahanku. Apa yang aku miliki selalu kamu kejar. Selama
ini aku telah cukup bersabar. Tetapi untuk yang satu ini, tak ada ampun. Aku
benar-benar akan membunuhmu.
125.
KEBO BANGAH : Dia
benar-benar cantik. Dia memang pantas untuk dicintai.
Tapi dia tak bisa mencintai
orang lain. Dia hanya bisa mencintai dirinya sendiri.
126.
SONU :
Dan kau telah menidurinya.
127.
KEBO BANGAH : Dia yang
meniduriku.
128.
SONU :
Sama saja, apapun
yang kamu lakukan
semakin
membuatku bergairah untuk
membunuhmu. Lihatlah kematian itu sudah hadir di sini. Di ruangan ini kita
telah merasakan kehangatannya. Apakah kamu tidak merasakan kehadirannya ? Lihat
mataku. Lihat baik- baik. Dia sudah ada di belakangmu. Wajahnya begitu
hitam (Kebo Bangah tegang) Tangannya
begitu keras. Seperti duri ! seperti Taring ! Seperti Racun ! (Seraya pelan
pelan menempelkan pistol ke kepala Kebo Bangah) Sekarang kamu akan aku bunuh.
Dan kamu akan mengalami orgasme. Bersiaplah, pejamkan matamu. Diam ! berdiri
Jongkok ! (berjongkok sambil menangis) Buka mulut lebar-lebar (membuka mulut,
sonu memasukan moncong pistol kedalam mulut Kebo Bangah) Tertawa ! (menangis)
Aku bilang tertawa ! (Menagis sambil tertawa) Ayo hitung satu ! (mengikuti) Dua
! (Kebo Bangah mulai panik dengan keseriusan Sonu). Kamu pikir aku tidak akan
melakukan ini, kamu memang harus disingkirkan. Kamu memang orang yang tak tahu
diri.
129.
BENDOL : Sonu
! kamu jangan main-main.
130.
SONU : Aku
tidak main-main. Aku serius. Sangat serius.
131.
KEBO BANGAH : Maafkan
saya, maafkan saya. Ampuni saya.
(KEBO BANGAH MERANGKAK DI BAWAH
KAKI SONU. SONU MENEKAN SIAP MENARIK PELATUK PISTOL. BENDOL DAN KEBO
BANGAH TERKEJUT. SUASANA MENCEKAM, TIBA
TIBA SONU TERTAWA, DISUSUL MEREKA IKUT TERTAWA)
132.
KEBO BANGAH : Boleh juga
permainanmu.
133.
SONU :
Terima kasih.
134.
KEBO BANGAH : Bagaimana
dengan permainanku ?
135.
BENDOL : Tuan
kurang menjiwai, kurang total. Tuan masih canggung
136.
KEBO BANGAH : Kalau
begitu gantian kamu, sekarang giliranmu. Sampai
mana tadi ?
137.
BENDOL :
Sampai tuan hampir mati.
138.
KEBO BANGAH : Tapi dia
tidak membunuhku. Dia malah tertawa.
139.
BENDOL :
(Tertawa) Ternyata kamu
bukan musuhku yang
sebenarnya. Aku terlalu kuat
dibandingkan dirimu. Kamu terlalu lemah untuk menjadi musuhku, aku telah
melihat betapa rapuhnya jiwamu. Aku kecewa. Benar benar kecewa. Aku pikir bahwa
kamu menyeretnya ke atas ranjang. Aku mengira bahwa kamu yang menelanjanginya.
Mencabik cabiknya. Tapi ternyata tidak. Kamu melakukan itu karena karena dia
memaksamu. Dan kamu bahagia ketika dipaksa. Kamu bahagia ketika ditindas. Kamu
benar benar orang lemah. Bahkan kamu lebih hina dari pada seekor kecoa. Maka
aku tak akan membunuh orang yang sehina kamu. Tapi aku akan membunuh dia.
(BENDOL MONDAR MANDIR. DUDUK,
MELETAKAN PISTOL DI MEJA, MINIM, MEROKOK. NAMUN TERNYATA KEBO BANGAH MENGAMBIL
PISTOL DAN MENGARAHKANNYA KEPADA BENDOL. BENDOL TERKEJUT)
140.
KEBO BANGAH : Anda salah.
Saya tidak perduli
dengan siapapun. Saya
tidak mencintainya. Anda yang
mencintai dia. Tapi anda impoten. Anda impoten bukan ? Impoten ! Apanya yang
aneh. Apakah begitu berat bagi bajingan seperti anda mengatakan bahwa dirinya
impoten. Anda adalah laki laki, laki laki yang tak berguna. Ayo katakan !
Saya impoten ! (Diam) Katakan !
(menirukan) Tak bisa berdiri (menirukan) Jompo (Diam) Saya bilang jompo !
(menirukan) Saya Coro, saya pembawa malapetaka, saya tidak peduli dengan masa
depan saya. Biarlah semua hancur. Semua masuk penjara. Saya memang bajingan.
Bunuh ! Bunuh ! Bunuh Saya ! ayo katakan (menirukan sambil menangis) Baiklah !
baikalah dasar orang tua tak berguna aku akan membunuhmu. Jangan menangis !
(Menagis) Diam !!
BENDOL SEMAKIN KERAS
TANGISANNYA HINGGA HISTERIS. MERAUNG RAUNG. SUASANA SEMAKIN MENCEKAM DAN TAK
TERKENDALI. TIBA TIBA TERDENGAR LEDAKAN. BENDOL TERSUNGKUR. KEBO BANGAH DAN
SONU TERPERANGAH)
141.
SONU :
Bendol kamu jangan
main-main. Bendol ! Bendol !
Bangun Bendol !
142.
KEBO BANGAH : (Panik)
Bendol ! Bagaimana ini ? kamu jangan main-main.
Sonu cepat panggil dokter !
Oh.. Tidak, tidak usah. (mengambil pistol mengarahkannya pada Sonu) Sonu, kamu
terlibat sejak awal. Kamu juga harus bertanggung jawab. Kamu tidak bisa lari.
Inilah upacara terakhir.
143.
SONU :
Saya tidak akan macam macam tuan… saya…..
(BELUM SELESAI SONU BERBICARA,
SUARA LEDAKAN TERLEBIH DAHULU TERDENGAR. SONU TERKAPAR DI DEKAT JASAD BENDOL.
KEBO BANGAH DIAM TERPAKU. SUASANA HENING NGLANGUT)
144.
KEBO BANGAH : Semua ini
berlangsung begitu cepat. Bahkan terlalu cepat.
Aku tak ingin didahului oleh
waktu. Sampai kenyataan upacara terakhir menjadi saksi dan aku tak ingin
didahului oleh orang lain. Hari ini aku akan mati. Ajalku akan datang. Kita
akan berpisah. Kita akan bertemu di akhirat. (pause). Ya aku percaya adanya
akhirat itu. Mudah mudahan sorga itu benar benar ada. Sekalipun aku nanti masuk
neraka. Ya, mudah mudahan sorga itu ada. Meskipun aku harus masuk neraka. Kamu
benar, Bendol, Sonu, mudah-mudahan sorga itu ada. Tapi bagiku, mudah mudahan
neraka itu tidak ada, sekalipun tidak ada sorga. Ya, mudah mudahan tidak ada
neraka. Meskipun terpaksa juga harus tidak ada surga. Kita akan berpisah. Itu
sudah jelas. Selamat jalan. ( Keluar. Musik seperti semula, diakhiri suara jam
berdentang dentang)
·
Lampung, Mei 2004
SELESAI
0 Komentar