Advertisement

Responsive Advertisement

Naskah Teater UPACARA TERAKHIR Karya Maman Bayzury


UPACARA TERAKIR

atawa

sebuah trilogi monoplay

peristiwa:

Peristiwa adalah suatu kegiatan atau serangkaian kegiatan yang bisa dijadikan sebagai opening, atau semacam titik tolak permainan. Suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan yang saling berhubungan, timpa menimpa dalam suatu runtutan tanda dan bentuk yang tersusun oleh idiom-idiom dramatik. Hal ini diharapkan bisa menciptakan metafor yang merupakan pantulan dari situasi psikologis dari tokoh Kebo Bangah juga kondisi eksternal yang dialaminya. Dua wilayah tersebut menjadi genting ketika dipertemukan sehingga dilema situasi psikologis akan nampak. Maka monoplay trilogi menjadi satu bentuk dari artikulasi-artikulasi psiko-fisik tokoh Kebo Bangah.

Adapun tokoh Kebo Bangah bisa diidentifikasikan sebagai berikut:

"Tuan Kebo Bangah", lebih cocok demikian bila dipanggil karena ia adalah putra tokoh pembesar walaupun tidak semua harus dipanggil Tuan, sudah menginjak tua tapi tubuhnya tetap kokoh setidak-tidaknya sisa-sisa kekokohannya masih tampak. Sekilas dia nampak keras dan kasar tetapi memiliki sensitifitas keharmonisan bahkan melankolis. Ditilik dari riwayatnya, kehidupan Tn.Kebo Bangah adalah kehidupan yang berat dan penuh kontradiksi. Disatu sisi dia telah mencapai kesuksesan, tentunya setelah melewati perjuangan panjang dan berliku. Dia telah mengalami kehidupan yang heroik. Setidaknya menurut dirinya sendiri. Akan tetapi disaat akhir hidupnya inilah dia menemukan kekosongan dan kesia-siaan. Dia ingin kembali kemasa kemasa awal hidupnya, tetapi tentu saja tidak mungkin, dan kini kematianpun semakin dekat. Sementara itu kekosongan dan kehampaan semakin berkerumun tak ampun, dia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan.

Sudah barang tentu Kebo Bangah memiliki istri bahkan beberapa orang istri yang dikawini lalu diceraikan. Seorang istrinya (kalau memungkinkan tokoh istri bisa dimunculkan diawal peristiwa, untuk memperkuat suasana dan membangun konflik) rela berkorban untuk suaminya walaupun dengan penghianatan-penghianatan. Sebuah motivasi dibalik situasi psiko-fisik yang tak bisa diraba.

Setting :

Sebagai seting riil dapat disusun sebebas mungkin, seting riil itu bisa berganti menjadi imajiner untuk mempertajam tokoh ketika memasuki ruang kenyataan dan masa lampau yang dibayangkan dan hal ini menjadi satu kesatuan walau dimainkan oleh tiga tokoh Kebo Bangah, Bendol, dan Sonu). Penjara, Ruang Kantor, Pelataran Pemakaman,  tempat yang terkesan sunyi, nglangut, dan magis. Cahaya buram memberat bahkan kelabu. LONCENG BERDENTANG DUA BELAS KALI.



Seseorang :

Siapa yang baru meninggal  ?! Siapa yang baru saja dimakamkan ? (mengangkat satu kursi keluar) Upacara sudah selesai (menyeret dua kursi sekaligus) yang pergi meninggalkan luka (melipat dan mengangkat kursi) yang ditinggal menjadi sengsara (menyeret, menggeser, dan mengangkat kursi sehingga membentuk irama) Kembalilah ke awal ! kembalilah ! Upacara telah berakhir ! bunga-bunga telah ditebarkan ! pulanglah ! Pulanglah!!!!.



Bagian I  Kebo Bangah :

Pak ! ini anakmu, Kebo Bangah. Saya agak terlambat. Soalnya jalanan macet. Maaf anak-anak tidak bisa ikut. Juga Istri saya, maksud saya matan simpanan Bapak. Saya sendiri tidak tahu di mana mereka sekarang. Sebenarnya saya malas ketemu Bapak. Karena Bapak selalu menyalahkan saya. Saat ini saya tidak tahu apakah saya sedih atau tidak. Kematian bapak begitu tiba-tiba. Saya tidak tahu apa saya terkejut apa tidak. Maafkan saya pak, buat apa saya berpura-pura sedih kalau kenyataan saya tidak sedih. Bapak mengajarkan kejujuran oleh karena itu saya berkata sejujur-jujurnya. Saya tahu bapak membenci saya, saya juga membenci bapak. Tapi ketahuilah, di mata saya bapak adalah pahlawan. Seorang laki-laki tulen, bukan banci. Saya sangat mengagumi bapak, sebagai seorang laki-laki saya sering cemburu dengan bapak. (tertawa kecil). Saya benci sekali ketika saya mengetahui perempuan-perempuan yang saya cintai jatuh kepelukan bapak. Bapak memang hebat. Bapak memang laki-laki yang matang. Mereka selalu puas ketika bercinta dengan bapak. Mereka mengelinjang-gelinjang, meraung-raung, berteriak-teriak karena puas. Saya benci mengetahui itu semua tapi juga sekaligus kagum. Saya ingin seperti bapak. Sekarang bapak sudah tiada, saya sadar, saya tidak bisa menjadi laki-laki seperti bapak. Bapak bisa membunuh sambil tersenyum. Menyingkarkan orang-orang yang bapak anggap berkhianat, juga dengan senyum. Bapak bisa menggusur orang-orang lemah, juga dengan tersenyum. Saya kagum dengan bapak. Bapak bilang orang lemah itu harus diajari untuk bekerja keras. Bapak bilang agar mereka kretif, mereka harus ditindas, dianiaya. Benar bapak, mereka tak lebih hanya kecoa. Binatang melata yang bahkan tidak mengeluh atau memberontak ketika diinjak. Ini memang keterlaluan. Saya sangat setuju dengan pendirian bapak. Tapi saya tidak bisa melakukan hal itu. Bagi saya bapak terlalu kuat, bapak terlalu hebat. Bapak terlalu agung untuk saya tiru. Bapak memang tidak membutuhkan siapa-siapa. Bapak bisa berdiri sendiri. Sedang saya ? Maka dari pada saya mengingat-ingat kebesaran bapak, lebih baik saya lupakan saja. Saya buang jauh-jauh kenangan saya terhadap bapak. Maafkan saya, bapak. Saya harus membenci bapak. Karena dengan begitu saya bisa melupakan Bapak. Saya akan mengambil perempuan-perempuan pacar bapak. Saya akan memelihara mereka dengan cara saya sendiri. Saya akan mengelola baik-baik perusahaan peninggalan bapak. Tak akan saya biarkan orang lain mengambilnya. Semua itu bapak peroleh dengan kerja keras. Dengan keringat dan darah. Percayalah saya akan mempertahankannya. Saya mohon restu. Semoga amal-amal bapak diterima oleh Tuhan. Sekali lagi selamat jalan, bapak.



Bagian II : Perempuan (istri)

Saya dengar Pak Hakim ! Itulah satu-satunya kesalahannya adalah, dia mantan suami saya. Dia laki-laki. Laki-laki tak berguna. Laki-laki bodoh. Dan seperti lazimnya laki-laki dia adalah mahluk yang dungu. Dungu tapi tinggi hati. Apakah dia bisa berfikir ? (pause) Dia memang selalu berfikir. Berfikir telah mengalahkan saya. Dia berfikir telah membunuh saya (pause) Dia juga berfikir bahwa dirinya tidak waras lagi (melakukan sesuatu). Dia berfikir semua orang senang padanya. Padahal semua orang membencinya. Dia berfikir dia memiliki istri. Istri yang setia. Dia berfikir bahwa dirinya laki-laki yang sempurna. Laki-laki yang perkasa joss…(pause) Padahal dia loyo. Betul, Pak Hakim dia itu ngos-ngos. Dia itu seperti pohon pisang. Anda sendiri tahu, Bapak Hakim, bagaimana rasanya tidur dengan pohon pisang (pause). Amit-amit. (terus bergerak). Kami memang punya anak, tapi itu dulu ! Itupun dengan bantuan orang lain. Ya semacam kerja baktilah (Pause). Saya mencintainya ? Saya tidak tahu pasti. Saya bisa mengatakan bahwa saya mencintainya. Tapi kenyataan saya membencinya. Saya benar-benar membencinya. Hanya satu cita-cita saya Bapak Hakim yaitu membunuhnya. Kenapa kami tidak bercerai ? Pertanyaan itu salah Bapak Hakim, kami tidak mungkin bercerai. Kami saling membutuhkan. Maksud saya, dia sangat membutuhkan saya.(pause) Apa, saya mengalami kelainan sex ! apa buktinya ? Seperti apa !

Bendol Bersaksi:

Seperti yang dikatakan banyak orang, beliau orangnya sabar. Benar tuan-tuan. Benar Bapak Hakim, beliau orangnya rendah hati. Beliau sangat menghargai kejujuran. Beliau juga menekankan kejujuran itu kepada saya selaku pembantunya. Oleh karenanya saya betul-betul menghargai arti kejujuran di kesaksian saya ini. Adapun mengenai tuan Kebo Bangah pada saat itu, beliau sedang tidak ada di tempat. Adapun kemana beliau saya tidak tahu pasti. Kepribadian tuan Kebo Bangah ? Tentu saya paham, dan bahkan sangat paham. Beliau memang sangat kaya. Hidupnya sederhana. Beliau hidupnya sederhana. Beliau banyak beramal. Banyak memberi sumbangan. Beliau orangnya humanis. Sangat respek terhadap nasib orang kecil. Banyak yang beliau tolong, termasuk saya. Beliau mengajari saya bekerja keras. Dalam hal disiplin beliau memang tidak mengenal ampun. Kadang-kadang bahkan sangat kejam. Saya bangga terhadap beliau termasuk kepada Bapak beliau(pause). Apakah beliau suka membunuh ? Yang saya tahu. Berkali-kali beliau berkata kepada saya bahwa sejak kecil cita-citanya adalah membunuh. Berkali-kali beliau berkata kepada saya bahwa beliau telah membunuh Bapaknya. Beliau juga berkali-kali bilang kepada saya bahwa beliau telah membunuh istrinya. Semua itu beliau lakukan karena ingin masuk penjara. Tentu saja beliau tidak pernah masuk penjara. Mana mungkin beliau masuk penjara. Ya karena beliau tidak pernah membunuh (tertawa). Betul Bapak Hakim. Beliau tidak akan sanggup membunuh. Yang tidak saya mengerti sampai sekarang adalah cita-citanya untuk masuk ke dalam penjara. Sampai sekarang beliau berangan-angan masuk penjara. Maka tolonglah Bapak Hakim, jebloskan beliau ke penjara. Beliau sekarang sudah sangat capek. Kasihan beliau Pak Hakim. Sekian Bapak Hakim terima kasih.

Perempuan (istri) Kebo Bangah :

Baiklah kalau itu yang Bapak Hakim kehendaki. Saya akan bicara. (mengambil pisau) Dengarkan tuan-tuan, kali ini saya tidak akan mengalah, saya tidak takut denga intimidasi. Saya sudah siap dengan segala resiko. Seandainya saya harus mati, saya tidak takut. Dengarkan baik-baik, beginilah kejadian yang sesungguhnya. (pause).

Saat itu tengah malam. Lonceng berdentang dua belas kali. Saya membukakan pintu. (bergerak) Saya menyambutnya. Saya menciumnya. Saya tidak mau menatap wajahnya. Dia juga tidak mau menatap saya. Napasnya terengah-engah. Saya terangsang. Saya menghadap cermin (bergerak ke cermin) Saya menggigil. Saya tidak melihat dia melepas pakaiannya. Saya tidak melihat dia bersemedi. Saya berhias (berhias). Saya memakai lipstik. Saya gosokan parfum disekitar telinga dan dada. Payu dara saya meruncing. Meruncing dan semakin keras (terengah-engah). Saya benar-benar bergairah. Saya terkapar. Tangan saya terbuka kaki saya terbuka (semakin terengah). Mata saya terpejam. Saya menagis. Saya angkat kaki saya. Saya angkat pinggul saya. Dan tiba-tiba dia menindih saya. Menjambak rambut saya. Saya benar-benar bergairah. Seluruh tubuh saya terbakar (pause). Dia bangkit lalu duduk di samping saya. Mata saya terpejam. Tangannya meraba kaki saya, betis saya, paha saya, perut saya, dada saya, leher saya, hidung saya, pipi saya, bibir saya, tengkuk saya. Perlahan-lahan. Sangat perlahan-lahan. Saya berkonsentrasi penuh untuk menikmatinya. Lalu dia mengulum jari-jari kaki saya, telapak kaki, betis, paha bagian dalam, pusar, buah dada saya, putingnya dia lumat-lumat, lalu ke ketiak, punggung, leher, pipi, alis, hidung, telinga, dia mengangkat tubuh saya, memangkunya, menghisap tengkuk saya, mengecup punggung saya, membentangkan tangan saya, lalu kami berdiri, membungkuk saling bersujud, lalu menempelkan lidah, mengunyah-ugunyahnya, dia terus menjilati saya, di bagian paha, paha bagian dalam, naik, naik, naik, dan berputar di pusat kontemplasi. Saya putar pinggul saya keras-keras, semakin keras, dan semakin keras. Saya berteriak, semakin keras dan semakin keras, kami saling memagut, menerkam, membanting, memiting, menyengat. Seperti mesin diesel, menderu-deru, seperti bor, seperti gasing, seperti tombak, mengempas-hempas, seperti gilingan, seperti denguangan lebah, memutar-mutar (mulai menari berputar) saling menggigit, meraung, ludes, mendidih, seperti ketel, melengking-lengking, ah, ah, lutut saya lecet menggesek karpet, punggung saya berdarah kena sudut meja, saya berteriak-teriak (berteriak), hitam, hitam, merah, merah, biru, biru, saya menangis, menangis keras, saya berteriak sekuat tenaga, tangan saya mengepal, memekik, seperti orang kampanye. Kaki saya menendang-nendang, dada saya penuh cairan, musik semakin keras, Beethoven………Linkin Park. Mengesek-gesek biola, biola di antara paha saya, senarnya putus, semakin keras, semakin keras, perut saya penuh cairan, cairan hangat, saya memukul-mukul dadanya, saya menggigit pundaknya, semakin keras, semakin keras, cairan semakin banyak, semakin panas, saya berteriak lagi, panjang, sanagt panjang, lalu terhempas, terlentang. (terengah-engah). Cairan……cairan…di mana-mana cairan… darah….darah…di mana-mana. Darah. Di kaki, di leher, di perut, di paha, di perut darah….darah…..lantai penuh darah….. Dia tertelungkup. Pisau menghujam perutnya.

Ya, saya telah membunuhnya. (sempoyongan)

Jadi tidak benar kalo dia mati bunuh diri. Apalagi dia mati karena di bunuh Kebo Bangah. Saya telah membunuhnya. Dengan pisau ini ditambah dengan pistol miliknya. Benar tuan-tuan saya menembaknya juga karena saya belum puas membunuhnya. Di kamar saya. Saya membunuhnya sambil bersetubuh. Saya sebenarnya ingin memotong alat vitalnya, tetapi saya tidak bisa. Berkali-kali saya hendak memotongnya, tetapi dia selalu berhasil mengelak. Maka saya tusuk saja jantungnya dan setelah tubuhnya terkulai di lantai sambil mengerang, saya semakin geram maka saya hujani lagi kepalanya dengan beberapa kali tembakan. (pause) Ya begitulah bapak hakim saya telah membunuh suami saya. Maksud saya, bekas suami saya. Maka, hukumlah saya, bapak hakim. Tolonglah saya bapak hakim. Hukumlah saya seberat-beratnya (tergugu) masukan saya ke penjara. (jatuh berkelotak seperti batu)

PERISTIWA: SETELAH LAMPU MENYUSUT BENDOL DAN SONU DATANG MENABURKAN BUNGA. JAM DUA BELAS KALI. SUASANA PERHELATAN LAYATAN SENDU NAMUN KERAS. KASIH HINGGA KEBENCIAN JADI SIMBOL ARTIKULASI.

BENDOL DAN SONU

Aku menziarahimu dari segala penjuru. Menggali kuburmu dalam jiwaku. Aku haturkan sepenuh kerinduan pada nisan di kepalaku. Menimbun dengan daun-daun yang berguguran memenuhi halaman ingatan-ingatan. Angin dan hujan yang telah membasahi tubuhmu dalam harum bunga-bunga. Kubaringkan tubuhku bersama tubuhmu dalam kehangatan hari-hari paling sunyi.

Cinta dan kekuatan ada padamu. Engkau telah mengisi ruang-ruang yang paling sederhana. Engkau lahir dan tertidur dengan segenap keluasaan. Sebagaimana samudera yang telah mengajarkan karang menjadi karang. Sebagaimana buih yang membasahi tepian-tepian. Sebagaimana pasir yang menjadi hamparan-hamparan.

Aku telah menjadi perahu yang melesat menembus batas-batas. Menembus antara waktu. Dinding kesepian dan kegundahan. Seperti engkau, aku telah menempuh jalan tanpa rintangan. Mabuk dalam pengharapan dan pesta-pesta. O, cintaku ingin kuputar jarum-jarum jam. Agar telingaku tak lagi berdarah darah. Agar tak kutemui bentuk tanpa rupa. Menjangkau ke negeri asing menyambut belaian dan dongeng-dongeng. Betapa kesaksian tengah menari-nari mengurai sampur yang kian lelah (melemparkan kain ke arah perempuan yang tergeletak). Dan aku telah memainkannya.

Aku telah menjelma bapak yang menempuh ribuan kilometer jarak. Menimang-nimang si buyung di gendongan. Meninabobokan sampai ia terlelap. Setelah terjaga, dia berlari. Berlari dan terus berlari ke puncak bukit. Diterbangkan angin dan hujan keemasan. Kepalanya dipenuhi mahkota dan baju terompah raja-raja. Aku meraihnya, tapi ia berkata "istirahatlah bapak, aku bisa menjaga diri". O, buyung engkau tak mengira badai hitam berdiri dibalik punggungmu. Menghunus kedengkian dan tipu daya. Menutup mata dan telinga. Menghembus ubun-ubunmu laksana aroma naga. Oh ! aku telah menjadi bapak durhaka.

Sejak aku mengelinding membentur jurang-jurang. Sejak aku dihujamkan. Kulilitkan kain putih sebagaimana aku tak pernah dilahirkan (melilitkan kain ke perempuan). Kurangkaikan catatan dan kesaksian. Aku terjerat sang perkasa. Ia tak bisa aku bawa ke atas altar persembahan. (menyeret-nyeret tubuh perempuan) Di sekelilingnya berdiri tiang-tiang menjulang. Aku hanya bisa berdoa, akankah ia ditimbun negeri porak poranda.

Tak perlu menabur bunga. Karena aku seorang nista. Aku hanyalah bapak yang merelakan anaknya terlunta. Aku menjadi jiwa yang tak menimbang rasa. Aku menangis bersama kepergian. Meninggalkan jejak pada lembar-lembar terserak. Aku tak ingin dipuja. Kenanglah aku sebagai bapak yang telah melahirkan anak-anaknya.

Aku akan mengalir menjadi air. Tak ada kembang atau belasungkawa serta kedudukan berlama-lama. Karena aku di bawah garis nasib. Karena aku di bawah langit. Karena aku di atas bumi. Kerena aku di bawah langit kesaksian.

Bagian III Kebo Bangah :

Jam berapa ini ? (melihat arloji) Pada saat-saat seperti ini saya pasti lupa waktu. Pada saat-saat seperti ini, arloji ini pasti mati. Padahal ini arloji bagus. Arloji mahal. Arloji baru. Buatan Swiss. Ini bukan arloji sembarangan. Semua orang tahu, saya tidak mungkin membeli barang murahan saya tidak mungkin membeli barang rongsokan. Termasuk arloji ini. Tapi pada saat-saat seperti ini pasti mati. Pada saat-saat yang lain, pasti normal. Apa-apaan ini.

Bendol! Sonu! Bendol! Bendol! (pause). Sudah tidak ada siapa-siapa. Pasti mereka semua sudah pulang. Kalau belum pulang mereka pasti ada di sini. Sonu! Bendol! Jam berapa ini? (pause)

Seharusnya aku memang tidak berada di sini. Di ruangan ini. Duduk, membaca, berfikir, menulis, membaca, makan, minum, berfikir, membaca, menghitung, menulis, membaca, merokok, menghitung, membaca…….apa-apaan ini.(pause) Tapi siapa yang menyuruh aku tetap di sini ? Tidak ada. Tidak ada yang menyuruh dan tidak ada yang mengawasi. Tapi aku tetap di sini. Ini memang konyol. Betul-betul konyol. Dan aku tahu bahwa ini sangat konyol.(pause) Tidak apa-apa. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku memang harus tetap di sini. Aku ingin semua tetap berlangsung sebagaimana mestinya (pause) sebagaimana mestinya. Dan sudah semestinya jika aku tetap di sini. Di ruang ini. (Pause) dari ruang inilah semuanya dimulai. Sejak bertahun-tahun yang lalu. Berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dari ruangan inilah aku mengendalikan semuanya. Aku tak perlu mencari tempat lain. Di sini saya berfikir, bertindak, berkontemplasi, berfikir dan bertindak lagi. Buat apa aku susah untuk mencari tempat lain ? Aku tidak akan kemana-mana. Aku tidak ingin kemana-mana. (Pause)

Sonu! Sonu! Bendol! (pause) Jam berapa ini. Pasti sudah larut malam. Atau bahkan sudah pagi. Tapi apa bedanya? Apa bedanya siang atau malam? Aku sudah terbiasa untuk tidak membedakan antara siang dan malam. Bagiku sama saja. Yang ada adalah kerja. Kerja. Kerja dan kerja. Ini yang kulakukan selama bertahun-tahun. Berpuluh-puluh tahun. Dan aku bahagia. Aku berhasil. Aku berhasil karena kerja keras. Yang aku capai sekarang karena aku kerja keras. (pause. Bergerak kesana kemari)

Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan selain kerja. Bahkan aku tidak bisa membayangkan. Bagaimana hidupku jika tidak bekerja. Mencari hiburan? Aku sudah bosan. Mungkin inilah hiburanku. Kerja. Kerja dan kerja. Tapi mereka bilang aku berlebihan. Mereka bilang aku mengada-ada. Mereka bilang aku sukses karena nasib baik. Mereka tidak tahu apa yang aku lakukan sebelum berada di sini. Aku memulainya dari bawah. Aku berangkat dari nol. Merangkak dengan susah payah. Jatuh, bangun, jatuh, bangun, jatuh, dan bangun lagi. Begitu terus, sehingga aku mencapai puncak.(pause) Sekarang aku ada di sini. Lalu mereka bilang aku sukses karena nasib baik. Ku akui aku memang tak sepenuhnya bersih. Aku memang sering main kayu. Tapi mana mungkin kita bisa sukses jika tak punya nyali. Siapapun tahu kita hidup di hutan rimba. Siapa yang kuat pasti menang. Dan aku telah membuktikannya. Aku harus bekerja ! ya. Aku akan tetap bekerja (membuka-buka berkas) Bubrah! Bubrah! Saya tidak suka semacam ini. Semua serba terburu-buru. Kenapa tidak bisa sedikit sabar. (Pause. Mengambil nafas panjang. Mencoba tenang. Menyulut rokok dan kembali membuka berkas dengan perlahan dan membacanya)

(membaca) Di balik tumpukan batu barangkali ada kata-kata yang sedang mencari dirinya sendiri. Tukang sampah selalu memberi kesaksiannya yang terakhir, lalu tak pernah kembali. (lembaran kertas di lemparkan) Oh, lihatlah, di belakang gudang hijau ini, seorang gadis terbaring dengan payungnya. Tentu saja kita tak tahu tukang cukur telah menggundulinya sehabis bersenggama. Lihatlah dia berbicara dengan gairah di pahanya. (pause) Apa arti semua ini ? (kembali kertas dilemparkan) Saatnya sudah tiba. Lampu jalan menyemburkan gerimis. Sepatu-sepatu digantung di atap. Kendaraan di parkir rapi. Gadis-gadis menelpon kekasihnya. Koran terlambat datang. Buku-buku dan sekolah dibakar. Pintu gerbang digembok. Taman-taman ditimbun. Trotoar sepi. (membuang kertas). Ini benar benar konyol. Surat kematian !?. Ya. Surat kematian ada juga yang memerlukan surat semacam ini. Oh. Rupanya ada surat wasiatnya. (membaca surat wasiat). Dengan ini secara resmi dinyatakan bahwa Mahendra Sugriwo bin Bethem alias Kebo Bangah meninggal dunia pada hari Sabtu wage, bulan syawal (pause) Apa artinya semua ini ? (membuka-buka kembali berkas) Kematian. Kematian. Kematian (Panik.Membuang berkas-berkas) 

(Terdengar gebrakan) Sonu! Bendol! (pause) Mereka semua pengecut. Banci. Kalau jentelmen, pasti berani berhadapan secara terang-terangan. Tidak sembunyi-bunyi. Tidak main kucing kucingan. Menusuk dari belakang. (pause) Mereka pikir aku takut. Aku sudah kenyang dengan pertarungan. Aku tidak ragu ragu. Mereka pikir aku bisa disingkirkan begitu saja (tertawa) Oh, kalian memang kampungan. Sebelum kalian menyingkirkan diriku, aku akan menyingkirkan kalian. Kalian akan kugilas habis. Kalian tidak bisa diajak kompromi (pause).

(Terdengar Gebrakan) Bangsat ! baik. Baiklah. Kalau ini yang kalian inginkan, akan aku layani. Aku tidak segan-segan bertindak brutal. Siapapun yang menantangku. Akan kusikat habis. Camkan itu. Aku memperoleh sumua ini dengan keringat dan darah.

(Terdengar Gebrakan) Bajingan ! Kalian memang tidak tahu diri. Kalin tidak tahu siapa saya. (suara-suara semakin gaduh dan keras). Baik ! Saya sudah siap. Mari kita bertaruh ! (Gebrakan keras terdengar. Kebo Bangah panik. Muncul Bendol)



1.       KEBO BANGAH   : Apa yang mereka inginkan. Apa yang mereka lakukan

2.       BENDOL               : Siapa yang tuan maksud?

3.       KEBO BANGAH   : Apa kamu tidak bertemu mereka?

4.       BENDOL               : Tidak

5.       KEBO BANGAH   : Mereka memang pengecut.

6.       BENDOL               : Di luar tidak ada siapa-siapa.

7.       KEBO BANGAH   : Apa kamu tidak mendengar sesuatu ?

8.       BENDOL               : Tidak

9.       KEBO BANGAH   : Tidak ? Apakah kamu tidak mendengar panggilanku ?

10.     BENDOL               : Tidak

11.     KEBO BANGAH   : Kenapa tidak mendengar ?

12.     BENDOL               : Kalo tidak salah saya tidur. Saya tertidur

13.     KEBO BANGAH   : Tidur ?

14.     BENDOL               : Saya tidak sengaja tidur.

15.     KEBO BANGAH   : Tidak sengaja ?

16.     BENDOL               : Saya pikir begitu.

17.     KEBO BANGAH   : Kamu tahu perbuatanmu itu tidak sopan.

18.     BENDOL               : ………….

19.     KEBO BANGAH   : Saya  bilang   perbuatanmu   itu   tidak  sopan. Saya di sini

tidak tidur, kamu di sana tidur. Aku di sini sengaja tidak tidur. Kamu di sana sengaja tertidur. Apakah itu pantas ?

20.     BENDOL               : Tidak

21.     KEBO BANGAH   : Apakah itu sopan ?

22.     BENDOL               : Tidak

23.     KEBO BANGAH   : Apanya yang tidak ?

24.     BENDOL               : Tuan menganggap bahwa tidur itu tidak pantas

25.     KEBO BANGAH  : Dan kamu menganggap bahwa tidur itu pantas. Begitu?

26.     BENDOL               : (berfikir) Tidak.

27.     KEBO BANGAH   : Tidak !?

28.     BENDOL               : (Menggeleng)

29.     KEBO BANGAH   : ( memandang  bendol  dengan  penuh  kemarahan )  Sudah

berapa tahun  kamu di sini ?

30.     BENDOL               : Saya  lupa,  tuan.   Kalau   tidak   salah   semenjak  saya

berumur  lima  belas  tahun.  Bahkan  sebelum  tuan  lahir.

31.     KEBO BANGAH   : Lalu kenapa kamu berani berbohong kepada saya.

32.     BENDOL               : Soal apa tuan ?

33.     KEBO BANGAH   : Soal diri kamu

34.     BENDOL               : Saya tidak mengerti ?

35.     KEBO BANGAH   : Apa yang kamu mengerti ?

36.     BENDOL               : …………….

37.     KEBO BANGAH   : Apa yang kamu lakukan di sana ?

38.     BENDOL               : Menunggu panggilan tuan.

39.     KEBO BANGAH   : Menunggu panggilanku !?

40.     BENDOL               : Menunggu perintah tuan.

41.     KEBO BANGAH   : Menunggu perintahku !?

42.     BENDOL               : Mencatat kata-kata tuan.

43.     KEBO BANGAH   : Mencatat kata-kataku

44.     BENDOL               : Menyediakan kebutuhan tuan

45.     KEBO BANGAH   : ………………

46.     BENDOL               : Menjaga pintu

47.     KEBO BANGAH   : Menyiapkan makan

48.     BENDOL               : Menyiapkan makan

49.     KEBO BANGAH   : Membeli rokok. Mana rokok ? Rokokku habis…

50.     BENDOL               : ( memberikan   rokok   dan   menyulutkannya )

Menyiapkan pakaian.

51.     KEBO BANGAH   : Menyemir   sepatu.   Jangan    lupa    Bendol    menyemir

sepatu !

52.     BENDOL               : (Tertawa kecil) Mengusir tamu.

53.     KEBO BANGAH   : (Tertawa) Kecuali yang perempuan. ( Pause)

Brengsek ! Kenapa akhir-akhir ini mereka tidak pernah ke sini.

54.     BENDOL               : Siapa yang tuan maksud ?

55.     KEBO BANGAH   : Para penjilat itu !   Para pelacur itu !   (pause) Mana

Sonu ? Sonu…..  Sonu ! (berteriak)

56.     BENDOL               : Biar saya panggil ( Sonu masuk tergopoh-gopoh)

57.     KEBO BANGAH   : Dasar  kere  yang  pantas  kalian  lakukan   memang  tidur.

Kalian memang pantas untuk tidur, sedang aku tidak. Aku sudah lupa rasanya tidur. Bahkan aku sudah lupa caranya bermimpi. (pause) Jam berapa sekarang ?

58.     SONU                    : Saya tidak tahu.

59.     KEBO BANGAH   : Tidak tahu !

60.     SONU                    : …………….

61.     KEBO BANGAH   : Seharusnya  kalian  tahu.    Apa   yang   tidak  aku  ketahui,

seharusnya kalian tahu !

62.     SONU                    : (Terbata-bata ketakutan)   Kalau  tidak  diberitahu,  pasti

saya tidak  tahu.

63.     KEBO BANGAH   : Arlojiku mati.

64.     SONU                    : Barangkali jam dua, kalau tidak jam dua, pasti jam dua

belas.

65.     KEBO BANGAH   : Siang apa malam.

66.     SONU                    : Barangkali malam.

67.     KEBO BANGAH   : Malam ?

68.     SONU                    : Kalau tidak siang ya malam.

69.     KEBO BANGAH   : Apa bedanya ?

70.     SONU                    : ……………

71.     KEBO BANGAH   : Kalian tahu sejak kapan aku berada di sini ?

72.     BENDOL               : Sejak tuan menjadi buron

73.     KEBO BANGAH   : Sejak kapan aku berani memutuskan bahwa aku lebih

baik mejadi  buron ?

74.     BENDOL               : Sejak ayah tuan meninggal

75.     KEBO BANGAH   : Bukan meninggal ! Tapi dibunuh.

76.     SONU                    : Itu masa lalu tuan. Toh si pembunuhnya telah  mati di

tiang  gantungan.

77.     KEBO BANGAH   : Kalian tahu siapa pembunuh ayahku ? akulah yang

membunuhnya.

78.     SONU                    : ……………….

79.     KEBO BANGAH   : Kalian tidak percaya ?

80.     SONU                    : Tuan sudah berkali-kali menceritakan hal itu.

81.     KEBO BANGAH   : Kalau   kalian   sudah  tahu   bahwa  aku  yang  membunuh

ayahku kenapa kalian tidak melaporkannya kepada polisi. Atau setidak-tidaknya, apakah tidak ada niatan sedikitpun pada kalian untuk menceritakan pada orang lain ? atau membongkar rahasia ini ?

82.     SONU                    : Tidak

83.     KEBO BANGAH   : Kenapa ?

84.     BENDOL               : Dia bukan ayah tuan

85.     KEBO BANGAH   : Dari mana kalian tahu

86.     BENDOL               : Tuan sudah berkali-kali menceritakan pada kami

87.     KEBO BANGAH   : Karena kalian terlibat dalam pembunuhan itu (Tertawa)

88.     BENDOL               : Itu juga sudah sering tuan katakan

89.     KEBO BANGAH   : Dia memang pantas untuk dibunuh

90.     BENDOL               : Tuan keterlaluan !

91.     KEBO BANGAH   : Dia itu arogan, lupa diri, congkak, dan serakah.

92.     BENDOL               : Dia tidak berbuat apa-apa terhadap tuan

93.     KEBO BANGAH   :  Aku membunuh karena memang harus membunuh,

coba kalau dia dibiarkan  hidup terus, apa yang akan terjadi, malapetaka. Dia sudah tidak perduli dengan masa depannya, apalagi masa depan orang lain. Kalau aku tidak mengambil alih, kita semua akan hancur. Bisa-bisa akupun akan ikut masuk penjara. Maka aku harus mengambil keputusan. Dan keputusan yang terbaik adalah menyingkirkannya. Kita semua hanya bisa selamat jika dia dibunuh, dan aku telah melakukannya. Aku telah menyelamatkan masa depan orang banyak, menyelamatkan kalian. Aku telah terlanjur mengambil keputusan. Aku telah bertindak. Dan sekali bertindak  aku tidak boleh berhenti. Dulu kalian juga yang menyuruh aku melakukan  tindakan itu ?!

94.      BENDOL              : Tapi saya tidak berfikir sejauh itu.

95.     KEBO BANGAH   : Sama saja, tindakan adalah tindakan. Akibatnya sama.

Dan dalam bertindak aku tidak pernah ragu-ragu, aku tidak mau melakukan sesuatu setengah-setengah. Siapa yang mencoba menghalangi akan aku babat.

96.     BENDOL               : Tuan   keterlaluan,   bagaimanapun   ayah   tuan   tidak

seburuk yang tuan kira.

97.     KEBO BANGAH   : Kalian   tahu  aku   sudah   terbiasa   dengan   hidup  keras,

maka aku akan bertindak keras kepada siapapun.

98.     SONU                    : Tuan akan meyesal.

99.     KEBO BANGAH   : Mereka yang akan menyesal.

100.  BENDOL               : Tuan Sudah capek sebaiknya tuan istirahat.

101.  KEBO BANGAH   : Aku tidak pernah istirahat.

102.  SONU                    : Kalau begitu silahkan tuan melanjutkan pekerjaan saya

akan pergi.

103.  KEBO BANGAH   : Kamu mau pergi kemana ? Mengikuti ayahku ?

104.  SONU                    : Mereka orang-orang baik.

105.  KEBO BANGAH   : ( Meledak dan marah ) Kalian memang tidak berbeda

dengan mereka Aku sudah menduga bahwa kalian berdiri di pihak mereka. Aku tahu dari gerak gerik kalian dan sorot mata kalian, apa yang kalian rencanakan ? (pause) Baik. Pergilah ! Aku bilang pergi ! Tinggalkan aku, aku tidak takut sendiri. Apa yang kalian tunggu ! Baiklah, baiklah kalau begitu. (Mengeluarkan pistol dan mengarahkannya kepada Sonu dan Bendol) Aku sudah menyuruh kalian pergi namun kalian tidak melakukannya, waktu kalian sudah habis. (Bendol & Sonu gugup ketakutan) Kalian tidak perlu takut, ini tidak akan sakit. Duduk ! (keduanya duduk) Berdiri ! (keduanya berdiri) Ke sana ! Ke sini ! Mana mulut kalian. Buka lebar-lebar ! Tertawa ! Ayo tertawa ! (keduanya menangis) Aku bilang tertawa (menagis) Sekali lagi aku bilang tertawa ! ( Mulai tertawa dan menagis). Jongkok ! Tiarap ! (tiarap) Angkat pantat (Mengangkat pantat) Turunkan ! Angkat lagi ! Cepat ! Lebih cepat ! Jongkok ! Berdiri ! Ayo hitung ! Satu ! ( mengikuti) Dua ! Tiga ! DOOR ! (Bendol dan Sonu berteriak ketakutan. Sementara Kebo Bangah tertawa terpingkal-pingkal) Bangunlah .…… ayo bangun  ( tertawa ) mari merokok. Santai saja (Mereka menerima rokok. Kebo Bangah masih tertawa akhirnya bendol dan Sonu ikut tertawa) kalian ingat bagaimana dulu ayahku ketika aku bunuh. Persis seperti sekarang ini. Dia tertawa aku juga tertawa, iya kan ? Saat itu dia duduk di sini, minum segelas bir dan merokok. Duduklah di sini, ya begitu. (Sonu duduk di kursi) Aku disini memain-mainkan pistol sementara dia masih tertawa, kalian pasti masih ingat peristiwa itu, iya kan ? Coba apa yang dikatan pada saat itu ?

106.  SONU                    : Kamu memang bajingan.

107.  KEBO BANGAH   : Tidak begitu, suaranya kurang keras.

108.  SONU                    : Kamu memang bajingan !

109.  KEBO BANGAH   : Ya, bajingan ketemu bajingan !

110.  SONU                    : Dan kamu telah melakukan yang tak terampuni,  apa  yang

kamu lakukan padanya. Kamu menidurinya bukan ?

111.  KEBO BANGAH   : Dia yang meniduriku.

112.  SONU                    : Kamu   boleh  melakuan  apa   saja,  saya  tidak  akan turut

campur. Tapi untuk yang satu ini, saya benar-benar tak bisa mengampuni. Kamu terang terangan menghina saya. Kamu menantang saya !

113.  KEBO BANGAH   : Mabuk ! Dia mabuk !

114.  SONU                    : Kamu  memang   tidak  tahu  diri. Seharusnya  kamu  tahu

bahwa tanpa nasib baik kamu tidak akan jadi seperti ini. Bukan. Bukan nasib baik, tapi karena kamu memanfaatkan nama besar ayahmu. Tapi apa yang aku dapat, anakku  kini jadi bajingan.

115.  KEBO BANGAH   : Karena bapaknya adalah bajingan.

116.  SONU                    : Siapa bapakmu ?

117.  KEBO BANGAH   : Semua bajiang adalah bapakku.

118.  SONU                    : Kamu  telah  mendapatkan  semuanya,  kamu  bisa berbuat

apa saja. Tapi kamu harus ingat, untuk menjadi seperti diriku, kamu harus menunggu bertahun-tahun. Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu, kamu sudah tidak sabar duduk di tempatku ini. kamu tidak pantas duduk di sini. Kamu belum mampu, karena kamu memang belum mampu. Lalu sekarang kamu mau menyingkirkan aku. Ayo. Kalau kamu sanggup. Lakuakan !

119.  KEBO BANGAH   : Aku  sedang  melakukannya ( Menodongkan pistol )  saya

tahu, tidak ada yang gratis, segala sesuatu harus ada bayarannya. Dan kali ini nyawa adalah bayarannya.

120.  SONU                    : ( Tertawa ) Rupanya  perempuan  telah  mengajari  kamu

dengan sangat baik, aku benar-benar cemburu. Kamu tidak akan bisa melakukannya. Ayo ! Ini aku, ini dadaku. Tatap mataku ! Lihat baik baik.

121.  KEBO BANGAH   : Aku akan membunuh anda.

122.  SONU                    : Itu bagaus kalau kamu benar-benar bisa melakukannya.

123.  KEBO BANGAH   : Tidak akan aku lakukan sekarang. (meletakan pistol)

124.  SONU                    : Kalau begitu biar aku yang membunuh kamu (mengambil

pistol lalu (mengarahkannya) Dengar baik-baik aku sudah lama melihat kebencian dalam hatimu, sama dengan yang kurasakan. Sejak kamu beranjak dewasa dan sanggup memimpin beberapa perusahaan, dalam hatiku telah timbul kebencian dan kecemasan. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, ancaman terbesar bagi diriku adalah kamu. Maka aku harus menyingkirkan dirimu. Aku akan membunuhmu (Kebo Bangah makin panik) kebencian tela mencapai puncaknya tak ada obatnya selain membunuh kamu. Kamu sengaja memancing kemarahanku. Apa yang aku miliki selalu kamu kejar. Selama ini aku telah cukup bersabar. Tetapi untuk yang satu ini, tak ada ampun. Aku benar-benar akan membunuhmu.

125.  KEBO BANGAH   : Dia benar-benar cantik. Dia memang pantas untuk dicintai.

Tapi dia tak bisa mencintai orang lain. Dia hanya bisa mencintai dirinya sendiri.

126.  SONU                    : Dan kau telah menidurinya.

127.  KEBO BANGAH   : Dia yang meniduriku.

128.  SONU                    : Sama    saja,   apapun   yang    kamu   lakukan    semakin

membuatku bergairah untuk membunuhmu. Lihatlah kematian itu sudah hadir di sini. Di ruangan ini kita telah merasakan kehangatannya. Apakah kamu tidak merasakan kehadirannya ? Lihat mataku. Lihat baik- baik. Dia sudah ada di belakangmu. Wajahnya begitu hitam  (Kebo Bangah tegang) Tangannya begitu keras. Seperti duri ! seperti Taring ! Seperti Racun ! (Seraya pelan pelan menempelkan pistol ke kepala Kebo Bangah) Sekarang kamu akan aku bunuh. Dan kamu akan mengalami orgasme. Bersiaplah, pejamkan matamu. Diam ! berdiri Jongkok ! (berjongkok sambil menangis) Buka mulut lebar-lebar (membuka mulut, sonu memasukan moncong pistol kedalam mulut Kebo Bangah) Tertawa ! (menangis) Aku bilang tertawa ! (Menagis sambil tertawa) Ayo hitung satu ! (mengikuti) Dua ! (Kebo Bangah mulai panik dengan keseriusan Sonu). Kamu pikir aku tidak akan melakukan ini, kamu memang harus disingkirkan. Kamu memang orang yang tak tahu diri.

129.  BENDOL               : Sonu ! kamu jangan main-main.

130.  SONU                    : Aku tidak main-main. Aku serius. Sangat serius.

131.  KEBO BANGAH   : Maafkan saya, maafkan saya. Ampuni saya.

(KEBO BANGAH MERANGKAK DI BAWAH KAKI SONU. SONU MENEKAN SIAP MENARIK PELATUK PISTOL. BENDOL DAN KEBO BANGAH  TERKEJUT. SUASANA MENCEKAM, TIBA TIBA SONU TERTAWA, DISUSUL MEREKA IKUT TERTAWA)

132.  KEBO BANGAH   : Boleh juga permainanmu.

133.  SONU                    : Terima kasih.

134.  KEBO BANGAH   : Bagaimana dengan permainanku ?

135.  BENDOL               : Tuan kurang menjiwai, kurang total. Tuan masih canggung

136.  KEBO BANGAH   : Kalau begitu gantian kamu, sekarang giliranmu. Sampai

mana tadi ?

137.  BENDOL               : Sampai tuan hampir mati.

138.  KEBO BANGAH   : Tapi dia tidak membunuhku. Dia malah tertawa.

139.  BENDOL               : (Tertawa)      Ternyata    kamu    bukan    musuhku    yang

sebenarnya. Aku terlalu kuat dibandingkan dirimu. Kamu terlalu lemah untuk menjadi musuhku, aku telah melihat betapa rapuhnya jiwamu. Aku kecewa. Benar benar kecewa. Aku pikir bahwa kamu menyeretnya ke atas ranjang. Aku mengira bahwa kamu yang menelanjanginya. Mencabik cabiknya. Tapi ternyata tidak. Kamu melakukan itu karena karena dia memaksamu. Dan kamu bahagia ketika dipaksa. Kamu bahagia ketika ditindas. Kamu benar benar orang lemah. Bahkan kamu lebih hina dari pada seekor kecoa. Maka aku tak akan membunuh orang yang sehina kamu. Tapi aku akan membunuh dia.


(BENDOL MONDAR MANDIR. DUDUK, MELETAKAN PISTOL DI MEJA, MINIM, MEROKOK. NAMUN TERNYATA KEBO BANGAH MENGAMBIL PISTOL DAN MENGARAHKANNYA KEPADA BENDOL. BENDOL TERKEJUT)


140.  KEBO BANGAH   : Anda   salah.  Saya  tidak  perduli  dengan  siapapun. Saya

tidak mencintainya. Anda yang mencintai dia. Tapi anda impoten. Anda impoten bukan ? Impoten ! Apanya yang aneh. Apakah begitu berat bagi bajingan seperti anda mengatakan bahwa dirinya impoten. Anda adalah laki laki, laki laki yang tak berguna. Ayo  katakan !  Saya  impoten ! (Diam) Katakan ! (menirukan) Tak bisa berdiri (menirukan) Jompo (Diam) Saya bilang jompo ! (menirukan) Saya Coro, saya pembawa malapetaka, saya tidak peduli dengan masa depan saya. Biarlah semua hancur. Semua masuk penjara. Saya memang bajingan. Bunuh ! Bunuh ! Bunuh Saya ! ayo katakan (menirukan sambil menangis) Baiklah ! baikalah dasar orang tua tak berguna aku akan membunuhmu. Jangan menangis ! (Menagis) Diam !!

BENDOL SEMAKIN KERAS TANGISANNYA HINGGA HISTERIS. MERAUNG RAUNG. SUASANA SEMAKIN MENCEKAM DAN TAK TERKENDALI. TIBA TIBA TERDENGAR LEDAKAN. BENDOL TERSUNGKUR. KEBO BANGAH DAN SONU TERPERANGAH)

141.  SONU                    : Bendol   kamu   jangan  main-main.  Bendol ! Bendol !

Bangun Bendol !

142.  KEBO BANGAH   : (Panik) Bendol ! Bagaimana ini ? kamu jangan main-main.

Sonu cepat panggil dokter ! Oh.. Tidak, tidak usah. (mengambil pistol mengarahkannya pada Sonu) Sonu, kamu terlibat sejak awal. Kamu juga harus bertanggung jawab. Kamu tidak bisa lari. Inilah upacara terakhir.

143.  SONU                    : Saya tidak akan macam macam tuan… saya…..

(BELUM SELESAI SONU BERBICARA, SUARA LEDAKAN TERLEBIH DAHULU TERDENGAR. SONU TERKAPAR DI DEKAT JASAD BENDOL. KEBO BANGAH DIAM TERPAKU. SUASANA HENING NGLANGUT)

144.  KEBO BANGAH   : Semua ini berlangsung begitu cepat. Bahkan terlalu cepat.

Aku tak ingin didahului oleh waktu. Sampai kenyataan upacara terakhir menjadi saksi dan aku tak ingin didahului oleh orang lain. Hari ini aku akan mati. Ajalku akan datang. Kita akan berpisah. Kita akan bertemu di akhirat. (pause). Ya aku percaya adanya akhirat itu. Mudah mudahan sorga itu benar benar ada. Sekalipun aku nanti masuk neraka. Ya, mudah mudahan sorga itu ada. Meskipun aku harus masuk neraka. Kamu benar, Bendol, Sonu, mudah-mudahan sorga itu ada. Tapi bagiku, mudah mudahan neraka itu tidak ada, sekalipun tidak ada sorga. Ya, mudah mudahan tidak ada neraka. Meskipun terpaksa juga harus tidak ada surga. Kita akan berpisah. Itu sudah jelas. Selamat jalan. ( Keluar. Musik seperti semula, diakhiri suara jam berdentang dentang)



·         Lampung, Mei 2004
SELESAI


Posting Komentar

0 Komentar