NASKAH TEATER Lakon TANDA SILANG
Karya :EUGENE O’NEILL
(WHERE THE CROSS IS MADE)
TANDA SILANG
Karya : EUGENE O’NEILL
Saduran : W.S. RENDRA
Dramatic Personae
DARPO Anak
Kapten
KAPTEN Ayah
Darpo
NANI Adik
Darpo
DOKTER
Kabin Kapten, sebuah kamar yang dibangun
sebagai tempat peninjauan di puncak rumah Kapten itu, yang terletak di tanah
yang meninggi, di salah satu tempat di sebelah utara pulau jawa. keadaan di
dalam kamar ini diatur seperti di dalam sebuah cabin seorang Kapten di sebuah
perahu layar yang besar. di dinding kiri kedepan, terdapat sebuah jendela kapal
yang bundar. lebih ke belakang, terdapat tangga ke atas yang seolah-olah jalan
menuju dek. jauh ke belakang lagi, terdapat dua buah jendela bundar, di kiri
belakang terdapat ebuah buffet yang mukanya dari pualam dan di atas buffet
terdapat lentera kapal. di tengah belakang, di lantai, terdapat sebuah lubang
pintu, di atas tangga yang menuju ke ruang bawah. sebuah dipan rendah dan
ringan membujur dari dinding sampai ke kanan pintu itu. di atas dipan terdapat
sebuah selimut, di dinding sebelah kanan terdapat dua buah jendela bundar. persis di bawah
jendela itu, terdapat bangku kayu, dan di depannya terdapat sebuah meja panjang
dengan kursi bersandaran lurus., ke depan dan di kirinya permadani yang murah
dan berwarna gelap terhampar di lantai. di atas. di atap, tengah-tengah terdapat sebuah jendela yang
membujur dari tempat lubang pintu sampai ke sisi kiri meja. di sebelah kanan
atap meja itu terdapat sebuah kompas kapal, lampu tempat kompas menyinari
tempat ini dari atas, sedang terus ke bawah ke kamar, sambil membuat bayangan
bundar yang kabur dari kompas itu di atas lantai.
Waktu itu adalah jam-jam permulaan dari
sebuah malam terang dan berangin, di musim kemarau cahaya bulan di saring oleh
angin yang meratap membentur pojok rumah yang kukuh. merambat pelan dengan lesu
menembus kaca jendela-jendela bundar dan istirahat seperti debu yang lelah,
merupakan lingkaran-lingkaran terang di atas lantai dan meja. bunyi pukulan
ombak yang tetap, menyergap dan menjauh terbawa ke atas dari pantai di bawah.
Sesudah layar dibuka, pintu di belakang
terbuka pelan-pelan dan tampak muncul kepala dan bahu Darpo. ia melemparkan
pandang dengan cepat ke sekeliling kamar, dan setelah tidak melihat siapapun di
situ, ia terus naik dan masuk. ia memberikan tanda pada seseorang di tempat
gelap, di bawah “mari Dokter”. Dokter itu mengikuti ke atas, ke kamar dan
setelah menutupkan pintu ia berdiri, menengok ke sekeliling dengan penuh
perhatian. ia sedikit kurus dan tingginya sedang, tampangnya tampang orang
pandai dan umurnya kira-kira tiga puluh lima ,
Darpo sangat tinggi dan rusak. lengan kanannya telah terpotong, hingga bahu dan
lengan jaketnya yang tebal. tergantung lesu atau melambai-lambai di samping
badannya apabila ia bergerak. tampaknya ia lebih tua dari umur yang sebenarnya,
pundaknya luruh seolah-olah kecapaian mengangkat kepalanya yang berat oleh
beban rambut hitam yang kusut. mukanya panjang. bertulang. pucat dengan mata
hitam yang dalam, mulut lebar tipis dengan diteduhi oleh seberkas kumis tebal
yang tak terpelihara. suaranya rendah dan dalam, kosong dan merasuk seperti
suara logam, disamping itu ia memakai celana tebal dan kasar dengan bersepatu
karet untu tenis.
DARPO
Tuan Dokter dapat melihat?
DOKTER (dengan suara dibikin-bikin biasa dan
menyembunyikan tak enak yang dikandungnya).
Ya cukup terang, jangan
susah. Bulan purnama sangat benderang.
DARPO
Untung juga, (berjalan pelan-pelan ke meja) Ia tidak
suka terang akhir-akhir ini. Hanya sinar dari tempat kompas itu.
DOKTER
Ia? Oh… maksud saudara ayah
saudara?
DARPO (kasar)
Siapa lagi?
DOKTER (sedikit heran, menengok ke sekeliling dengan
sedikit malu)
Saya kira semua ini dimaksudkan seperti cabin
sebuah kapal, ya?
DARPO
Ya, seperti yang sudah saya
peringatkan sebelumnya.
DOKTER (heran)
Diperingatkan? Mengapa
diperingatkan? Saya kira rekaan ini tidak mengejutkan, malah cukup menarik.
DARPO (penuh maksud)
Menarik, ya mungkin.
DOKTER
Dan ia tinggal di sini,
seperti kata saudara, tidak pernah turun.
DARPO
Tidak, tidak pernah turun,
sudah hampir tiga tahun. Adik perempuan saya yang membawakan makanan ke atas. (ia duduk di kursi kiri meja) Ada lentera-lentera di
atas buffet itu dokter. Tolong bawakan ke sini dan silahkan duduk. Kita terangi
saja kamar ini. Saya minta maaf karena telah membawa tuan ke kamar di atap ini,
tapi percayalah, takkan seorangpun bisa mendengar kita di sini. Dan dengan
melihat cara hidupnya yang gila dengan mata kepala tuan sendiri, tuan akan
mengerti bahwa saya ingin tuan tahu hal yang sebenarnya, tidak lebih dari itu,
kebenaran dan untuk itu lentera sangat penting. Tanpa itu di kamar ini semua
hanya menjadi impian-impian, Dokter.
DOKTER (dengan senyum lega membawa lentera)
Sedikit angker di sini.
DARPO (tampaknya tak memperhatikan)
Ia tidak akan melihat cahaya ini.
Matanya terlalu sibuk, kearah jauh sana
(ia mengayuhkan tangan kirinya membuat
isyarat menuding ke laut) Dan bila ia melihatnya, biar saja ia turun. Tuan
toh harus menemuinya sekarang atau nanti (ia
menggoreskan korek menyalakan lentera)
DOKTER
Dimana dia?
DARPO (menunjuk ke atas)
Di atas, di geladak. Silahkan
duduk bung… dia tidak akan turun.
DOKTER (duduk dengan agak hati-hati di atas kursi di
depan meja)
Jadi ia punya atap yang
sangat sempurna seperti kapal?
DARPO
Ya, seperti yang sudah saya
ceritakan pada tuan, seperti dek. Ada kemudi,
kompas, tempat kompas berlampu, tangga ke dek sana (ia
menuding), jembatan yang bisa dibuat jalan-jalan hilir mudik semalam
suntuk. (dengan keras yang mendadak)
Sudah saya katakan bukan, kalau dia gila?
DOKTER (dengan lagu orang pandai)
Itu bukan sesuatu yang baru.
Saya sudah mendengar seluruhnya tentang dia sejak saya pertamakali datang ke
rumah sakit gila di sana .
Saudara bilang ia hanya jalan-jalan di malam hari saja, di atas sana?
DARPO
Ya, hanya di malam hari. (penuh kebencian) Barang yang ingin
dilihatnya tak bisa dibayangkan siang hari-impian dan semacam itu.
DOKTER
Tapi apa yang ia coba untuk
dilihatnya? Apa ada orang yang tahu?
DARPO (kasar)
Apa? Semua orang tahu apa
yang dicari bapak, tuan. Tentu saja kapal.
DOKTER
Kapal apa?
DARPO
Kapal bapak, Marlini – yang
diberi nama seperti nama ibu saya almarhum.
DOKTER
Tapi saya tidak mengerti, apa
kapalnya terlambat pulang atau bagaimana?
DARPO
Tenggelam dalam badai di
sekitar kepulauan Sampa dengan segala muatan dan penumpangnya. Tiga tahun yang
lalu.
DOKTER (terpesona)
Ah.. (sesudah berhenti sejenak) Tapi ayah saudara masih tetap meragukan?
DARPO
Seorang kapten kapal pencari
mutiara melihat kapal bapak nungging, hancur seluruhnya. Itu terjadi dua pekan
sesudah badai. Mereka menghampirinya dengan perahu untuk memastikan kapal siapa
yang hancur itu.
DOKTER
Dan ayah saudara telah
mendengarnya?
DARPO
Tentu saja, ia orang pertama
yang mendengar berita itu. Oh… apabila tuan ingin tahu, ia tahu betul tentang
apa yang terjadi pada kapalnya. (menjulur
ke arah Dokter, dengan tajam) Ia tahu dokter, ia tahu, tapi ia tidak mau
percaya… Ia tak bisa percaya dan terus hidup begitu.
DOKTER (tak sabar)
Saudara Darpo, mari kita
langsung ke soal pokok saja. Saudara membawa saya ke sini tiak untuk menambah
mempergelap duduk perkaranya, bukan? Marilah kita bicarakan kebenarannya,
seperti sudah saudara katakan tadi. Saya akan membutuhkannya untuk
memperlakukan ayah saudara dengan simpatik apabila kami sudah membawanya ke
rumah sakit gila.
DARPO (dengan kuatir, merendahkan suara)
Dan tuan akan datang malam
ini dengan pasti bukan?
DOKTER
Dua puluh menit setelah saya meninggalkan
tempat ini, saya akan balik lagi dengan mobil. Saya janji itu.
DARPO
Dan tuan tahu jalan ke rumah
kami bukan ?
DOKTER
Tentu saja saya tahu, tapi….
DARPO
Pintu depan akan dibiarkan
terbuka untuk tuan, tuan harus langsung naik ke atas Adik perempuan saya dan
saya akan sudah berada di sini nanti. Dengan dia. Dan tuan tahu, tak seorangpun
diantara kita tahu menahu dalam soal ini. Maksud saya seolah-olah ini bukan
atas anjuran saya. Hal ini bukan kemauan saya, tapi kemauan orang lain. Ia sama
sekali jangan sampai tahu, bahwa…
DOKTER
Ya,,, ya,,,, Tapi saya masih
belum tahu, apakah ia berhaya?
DARPO
Tidak, tidak… ia selalu
sangat tenang, tapi mungkin ia berbuat sesuatu apa saja, bila ia tahu bahwa…
DOKTER
Percayalah, saya takkan
membuka mulut tentang itu, tapi saya akan membawa 2 orang pembantu untuk
menjaga kalau-kalau…. (ia merubah lagu
suaranya dan kemudian melanjutkan dengan terang-terangan). Dan saudara tahu
kebenaran cerita ini, mudah-mudahan saudara tidak keberatan menceritakannya.
DARPO (menggelengkan kepala penuh perasaan).
Ada hal-hal yang sebenarnya .
yah, ini dia sekarang : pokok soal. Ayah adalah seorang kapten kapal pengangkut
kopra, sebagaimana ayahnya, yaitu kakek saya. Pelayaran terakhir yang dibuatnya
kira-kiratujuh tahun yang lalu. Menurut rencana ia akan berlayar 2 tahun. Tapi
ternyata perpisahan kami menjadi 4 tahun. Kapalnya telah terdampar di lautan
teduh. Ia dan enam orang lainnya, berusaha mencari pulau kecil, sebuah pulau
tandus seperti neraka. Dokter, sesudah tujuh hari berlayar diatas biduk kecil
yang tak beratap, anak buah lainnya tak ada beritanya sampai sekarang lenyap
ditelan hiu. Dan diantara enam orang yang mengikuti ayah mencari pulau hanya
empat orang saja yang hidup, waktu sebuah perahu dari Hawaii menolong mereka.
Empat orang ini, akhirnya bisa pulang juga ke Jawa. (dengan penuh tekanan). Mereka itu adalah ayah, Ilyas, Karto, dan
Kanaka. Tak lebih dari empat orang. (tertawa
dibikin-bikin). Itulah kebenaran bagi tuan. Cerita ayah waktu ditulis orang
disurat kabar.
DOKTER
Tapi bagaimana halnya dengan
ketiga orang lainnya di pulau itu?
DARPO (dengan kejam).
Mungkin mati kapiran…,
mungkin edan terjun ke laut… begitu cerita yang kami dengar, namun ada pula
bisikan yang kami dengar, bahwa mereka dijagal dan dimakan, barangkali… tapi
yang terang hilang- punah, itu tak bisa dibantah lagi. Itulah kebenaran Dokter.
Lain dari itu—siapa tak dan kenapa dipusingkan benar?
DOKTER (penuh kengerian).
Saya kira itu perlu
dipusingkan, betul perlu.
DARPO (ganas).
Kita berbicara tentang
kebenaran Dokter. (tertawa). Dan ini
ada beberapa kebenaran lagi untuk tuan. Ayah membawa ketiga orang itu kemari,
ke rumah ini ; Ilyas, Karto, dan Kanaka. Kami hampir-hampir tak mengenal ayah
lagi. Ia telah pergi ke neraka dimana kami menyaksikannya. Rambutnya telah
putih, tapi tuan akan segera melihatnya sendiri, segera. Dan yang lain, mereka
sedikit sinting juga, - - katakan saja edan. (tertawa lagi). Kebenaran yang sangat terlalu, Dokter. Mereka
meninggalkan tempat itu dan impianpun dimulai.
DOKTER (bimbang).
Tampaknya, cukup sekian
kebenaran cerita itu.
DARPO
Tunggu (dengan sengaja memulai lagi). Pada suatu hari ayah memanggil saya
didepan orang-orang itu menceritakan impiannya. Saya menjadi ahli waris dari
rahasia itu. Pada hari kedua mereka tinggal di pulau itu, katanya, mereka
menemukan sebuah perahu tersembunyi di dalam sebuah teluk, perahu itu kepunyaan
bangsa bumi putra yang telah hancur, rapuk dan penuh air. Sebuah perahu perang
yang biasa digunakan oleh para perompak. Tuhan juga yang tahu, berapa lama
sudah perahu itu membusuk. Tuhan juga yang tahu apakah anak buahnya telah
musnah, karena di pulau itu tak ada tanda orang pernah menginjaknya. Lalu
Kanaka pergi ke perahu itu, ia sangat betah menyelam, seperti orang telah tahu
dan di dalam dua buah peti ia menemukan….. (ia
menyandarkan badannya ke kursi dan tersenyum dengan penuh ironi). Coba
terka ; apa Dokter?
DOKTER (dengan jawaban penuh senyum).
Tentu saja harta.
DARPO (menjulur ke depan dan menudingkan jarinya
secara menuduh).
Tuan lihat, akar kepercayaan
tertanam juga pada tuan. (bersandar lagi
dengan gelak ditahan). Ah, ya. Harta, tentu saja, apa pula kalau bukan? Ia
membawa harta itu keatas daratan dan selebihnya, bisa tuan terka juga ; intan
berlian, zamrud, manikam, perhiasan, tak terbatas, tentu saja. Kenapa sebuah
mimpi mesti dibatasi? Hahahahaha… (tertawa
sardonis, seolah mengejek dirinya sendiri).
DOKTER (sangat tertarik).
Lalu…?
DARPO
Mereka lalu mulai gila,
lapar, dahaga dan sebagainya, dan mereka mulai lupa. Mereka telah melupakan
banyak hal dan barang kali untung bagi mereka karena berlupa. Tapi, ketika ayah
insyaf akan apa yang terjadi pada mereka, begitu katanya ; bahwa selagi mereka
sadar sebaiknya mereka – terka lagi sekarang, Dokter. Hahahahaha….
DOKTER
Menanam harta itu?
DARPO (penuh ironi).
Gampang bukan? Hahaha… lalu
mereka membuat peta dengan arang kayu. Impian yang itu-itu juga dan ayah
menyimpan peta itu. Segera sesudah itu mereka dijemput orang dalam keadaan edan
seperti binatang, oleh beberapa orang Hawaii, sebagaimana sudah saya ceritakan…
(menghentikan suara ejekannya, ..
kemudian mencoba tenang, bicara dengan lagu sadar lagi). Tapi peta itubukan
impian Dokter. Sekarang kita kembali pada kebenaran. (membentangkan peta di meja).
DOKTER (mengulurkan lehernya penuh perhatian).
Gila betul… ini sangat menarik. Harta itu saya
kira terletak di…..
DARPO (menuding kertas).
Di tempat tanda silang.
DOKTER
Dan ini tanda tangan- tanda
tangannya, o… begitu? Dan gambar ini?
DARPO
Tanda tangan Kanaka, ia tidak
bisa menulis.
DOKTER
Dan yang terbawah ini tanda
tangan saudara bukan?
DARPO
Ya, sebagai ahli waris dari
rahasia. Kami semua menandatanganinya, pada pagi-pagi hari, ketika kapal
Marlini yang diperbaiki ayah dengan cara menggadaikan rumah ini. Pergi berlayar
untuk mengambil harta itu. Hahahaha….
DOKTER
Kapal yang masih
dinantikannya, yang sudah tenggelam tiga tahun yang lalu?
DARPO
Ya, Marlini…. Ketiga orang
lainnya itu ikut berlayar. Hanya ayah dan Ilyas yang tahu agak tepat tentang
perjalanan di pulau itu, dan juga saya sebagai ahli waris. Kira-kira…. (bimbang, lalu mengerutkan dahinya). Tak
apa, saya akan menyimpan rahasia edan itu. Ayah pada waktu itu ingin pergi
bersama mereka, namun ibu sakit keras. Dan saya tak berani pergi sendirian.
DOKTER
Jadi saudara ingin pergi?
Kalau begitu saudara percaya akan adanya harta itu?
DARPO
Tentu saja. Hahaha… bagaimana
mungkin saya mencegahnya? Saya percaya sampai saat kematian ibu. Lalu ayah
menjadi gila, ia membangun kabin kapal ini untuk menanti dan ia curiga karena
saya semakin bimbang. Akhirnya, sebagai bukti terakhir, supaya saya tidak
bimbang lagi, ia berikan kepada saya sebuah benda yang telah lama ia
sembunyikan terhadap anak buahnya. Sebuah contoh kekayaan dari harta itu.
Hahahaha… lihatlah Dokter (dari sakunya
mengambil sebuah gelang yang berat, tebal bertahtakan batu-batuan dan
melemparkannya ke atas meja di depan lentera).
DOKTER (memungutnya dengan rasa ingin tahu dan
berkata seolah-olah pada dirinya sendiri).
Permata tulen?
DARPO
Hahaha…. Tuan ingin percaya
juga, bukan. Batu murah dan logamnya pun kuningan perhiasan orang-orang Samoa.
DOKTER
Saudara sudah menelitinya?
DARPO
Yah, seperti orang tolol. (menyimpan kembali gelang, kemudian
menggelangkan kepala seolah hendak melemparkan sesuatu beban).sekarang tuan
tahu, kenapa ia menjadi gila. Ya, karena menunggu kapal itu. Dan kenapa pada
akhirnya saya minta pada tuan untuk membawanya pergi ke tempat yang aman
baginya. Rumah ini, yang dulu digadikan untuk memperbaiki kapal itu, sekarang
sudah sampai pada batas waktunya. Kami harus segera pindah. Adik perempuan saya
dan saya. Kami tak bisa membawa ayah, adik perempuan saya akan segera menikah.
Mungkin dengan jauh dari pemandangan laut ayah akan….
DOKTER (sambil lalu)
Mari kita harapkan yang
baik-baik saja. Dan saya menghargai tindakan saudara. (ia bangkit dan tersenyum) Terima kasih untuk cerita yang menarik
itu, saya tahu bagaimana cara menghiburnya bila ia mengigau tentang harta itu.
DARPO (muram)
Ia selalu tenang, terlalu tenang. Ia hanya
berjalan hilir mudik saja menanti…
DOKTER
Nah, aya harus pergi. Apakah
menurut pertimbangan saudara betul-betul tepat mengambil ayah saudara malam ini
juga?
DARPO (membujuk)
Ya, Dokter. Para tetangga
itu, mereka memang jauh, tapi… demi kebaikan adik perempuan saya, ah… Tuan
tentu mengerti.
DOKTER
Saya mengerti. Tentu sangat
berat bagi adik perempuan saudara. Hal macam begini… Nach… (ia pergi ke pintu yang telah lebih dahulu
dibukakan Darpo) Saya akansegera kembali. (ia mulai turun keluar)
DARPO (sungguh-sungguh)
Jangan ampai gagal, Dokter, dan datanglah langsung ke atas ia
akan ada di sini. (ia menutup pintu dan
bersijingkat denga hati-hati ke tangga dek. ia naik beberapa tapak dan
mendengarkan satu suara dari atas. lalu pergi ke meja. meredupkan lampu lentera
hingga sangat redup dan duduk. memperistirahatkan sikutnya, dagunya diletakkan
di atas tangannya dan menatap ke muka dengan pandangan yang muram. pintu di
belakang terbuka perlahan-lahan, pintu berdenyit dan Darpo terloncat dari
duduknya. dengan suara ketakutan yang tertelan) siapa itu? (pintu terbuka
lebar-lebar, kelihatan Nanti. ia naik ke kamar dan menutupkan pintu itu
kembali. Nanti, tinggi semampai, berumur dua puluh lima. bermuka pucat dan
sedih, muka ini diteduhi oleh rambut yang hitam pekat an lebat. hanya rambut
yang hitam inilah, satu-atunya warna yang menghiasi dirinya. bibirnya yang
penuh itu pucat, warna matanyayang lebar dan cerdik itu, sudah mengabur antara
hitam dan coklat. suaranya rendah dan melakoli. ia memakai gaun putih dan sandal).
NANI (berdiri dan
menatap kakakny dengan pandangan menuduh)
Cuma saya. Apa yang kamu takutkan?
DARPO (membuang pandang dan kembali terbenam ke
kursinya) Tidak apa-apa. Saya tidak tahu, saya kira ada tamu di dalam
kamarmu.
NANI (datang ke meja)
Saya sedang membaca, lalu
saya dengar orang turun tangga dan pergi keluar. Siapa itu? (dengan kekuatiran yang mendadak) Bukan
ayah kan?
DARPO
Bukan. Ia ada di atas,
menanti,seperti biasa kerjanya.
NANI (duduk,
mendesak)
Siapa tadi?
DARPO (menghindar)
Lelaki. Kenalan saya!
NANI
Lelaki bagaimana? Orang apa
dia? Kau menyembunyikan sesuatu,katakan.
DARPO (menatap dengan menantang)
Seorang Dokter.
NANI (terkejut)
Ohh.. (dengan terkaan yang cepat) Kau bawa ke sini supaya saya tidak tahu.
DARPO(bersikeras)
Tidak. Saya bawa kemari
supaya dapat melihat kebenaran, untuk saya tanyai sesuatu tentang ayah.
NANI (seolah
takut akan jawaban yang didapatnya dari Darpo)
Apakah ia dokter dari rumah
sakit gila? Oh Darpo. Kau kan tidak…
DARPO (menyela dengan serak)
Tidak, tidak… Diamlah kau.
NANI
Ini adalah…, adalah kengerian
yang terakhir.
DARPO (menantang)
Kenapa? Kau selalu bilang
begitu. Apalagi yang lebih ngeri kalau hal ini terus di diamkan? Saya percaya,
akan lebih baik bagi dia, apabila dia pergi dimana dia tidak melihat laut lagi.
Dia akan melupakan pikirannya yang gila; menunggu kapal yang telah tenggelam
dan harta yang tidak pernah ada. (seolah
menyakitkan dirinya sendiri dengan bernafsu) Saya percaya ini…
NANI (menyerang)
Tidak, kamu tidak percaya
Darpo. Kau tahu bahwa ia akan mati jika tidak hidup di dekat laut lagi.
DARPO (pahit)
Dan kau tahu Umar akan
menuntut uangnya? Apa itu bukan apa-apa? Kita tak bisa bayar. Ia kemarin datang
dan berunding dengan saya, ia sadar bahwa rumah ini sudah dapat disitanya,dari
sudut apapun. Caranya bicara kita ini seakan-akan penyewa saja, laknat dia itu.
Dan dia bersumpah akan segera menyita rumah ini, kecuali kalau…
NANI (ingin
tahu)
Apa?
DARPO (dengan suara berat)
Kecuali kalau… ayah… dibawa
pergi dari sini.
NANI (sedih)
Oh… Tapi mengapa, mengapa?
Baginya ayah itu apa?
DARPO
Harga barang miliknya, rumah
kita ini, yang sebenarnya sudah jadi milik umar. Para tetangga takut, mereka
balik ke perumahan mereka dari kota, melewati jalan itu di waktu malam. Mereka
melihat ayah di atas atap berjalan hilir mudik melambai-lambaikan tangannya ke
langit. Mereka takut, mereka mengeluh, mereka bilang, untuk kebaikan ayah
sendiri, ia harrus dibawa pergi. Bahkan mereka mulai berbisik kalau rumah ini
berhantu. Si Umar takut akan barang miliknya, rumahnya ini. Ia kawatir, ayah
akan membakar rumah ini, atau melakukan hal-hal yang membahayakan…
NANI (putus asa)
Tapi kau katakan pada Umar
bahwa pikiran itu tolol sekali, bukan? Bahwa ayah selalu tenang-tenang saja?
DARPO
Apa gunanya mengatakan,
apabila mereka percaya, apabila mereka takut? (Nanti menutup muka dengan tangannya, berhenti sejenak, Darpo bergumam
dngan serak) Saya sendiri juga takut, berulang kali takut…
NANI
Oh.. Darpo, takut apa?
DARPO (kejam)
Takut dia dan laut yang
selalu diteriakinya. Takut pada laut yang laknat, yang selalu dipaksakan
kepadaku ketika aku masih bocah, laut yang merampas tanganku dan menjadikan aku
barang rusak tak berharga.
NANI (memohon)
Kau tidak bisa menyalahkan
ayah atas nasibmu yang malang.
DARPO
Kenapa tak bisa? Ia keluarkan
saya dari sekolah dan memaksa saya untuk ikut dengan kapalnya, buka? Apa akan
jadinya saya sekarang, kecuali pelaut sombong macam dia, bila dia berhasil
memaksa saya? Tidak, saya tidak bisa menyalahkan laut yang menggagalkan maksud
ayah dengan merampas tanganku dan mendamparkan saya kedaratan sebagai tambahan
korbannya lagi.
NANI (sambil
tersedu)
Kau pahit, Darpo, kau kejam.
Hal itu sudah lama terjadi. Mengapa tidak bisa kau lupakan?
DARPO (pahit)
Lupa? Asal omong saja. Kalau
Tomo sudah pulang dari berlayar kau akankawin dengan dia dan meninggalkan
kehidupanmu yang biasa. Lalu menjadi istri kapten seperti halnya ibu kita. Saya
harap saja kau bahagia.
NANI (memohon)
Dan kau akan tinggal bersama
kami, Darpo dan ayah, lalu…
DARPO
Apa? Apa kau akan membebani
suamimu yang muda itu dengan orang gila dan orang buntung macam saya? (keras dan kejam) Tidak, saya tidak (penuh dendam) Dan ia juga tidak (tiba-tiba ada maksud lain, berkata dengan
sadar) Saya harus tinggal di sini. Bukuku sudah tiga perempat jadi, buku yang
akan membebaskan saya. Tapi saya tahu, saya merasa seyakin saya hidup dan
berdiri di depanmu ini, bahwa saya harus menyelesaikannya di sini. Tak bisa
kelihatan hidup bagiku di luar rumah ini, di mana saya di lahirkan. (menatap adiknya dengan tajam) Jadi saya
akan tetap di sinimenjauhi neraka. (Nanti
tersedu putus asa; sesudah diam sebentar Darpo meneruskan) Si umar,
mengatakan saya boleh tinggal di sini, menumpang tanpa membayar, sebagai
penjaga rumah, bila…
NANI(dengan ngeri, seperti gema yang dibisikkan)
Bila?
DARPO (menatap adiknya, dengan suara bunuh diri)
Bila saya bawa pergi ia dari
sini, di mana ia tidak lagi membahayakan dirinya dan orang-orang yang lain.
NANI (dengan kengerian dan kejijiKAN)
Tidak, jangan Darpo, demi ibu
kita almarhum.
DARPO (membela diri)
Apa saya bilang sudah?
Mengapa kau memandang saya begitu?
NANI
Darpo, jangan. Demi ibu kita
almarhum.
DARPO (kacau)
Diamlah, diam… Ibu telah mati
dan telah damai. Apakah nyawanya yang telah akan kau panggil lagi padanya untuk
diremuki dan dilukai?
NANI
Darpo…
DARPO (mencengkram tenggorokkannya seolah menahan
sesuatu dalam dirinya, bersuara serak)
Nani… Nani… Ampuni saya (adiknya menatap dengan firasat yang tak
enak. sementara Darpo menenangkan dirinya dengan susah payah. kemudian
melanjutkan omongannya dengan sadar) Si Umar bilang, ia akan memberikan
uang 20.000, bila saya mau sekalian menjual rumah ini kepadanya dan ia akan
membolehkan saya tinggal, bebas sewa sebagai penjaga.
NANI (menghina)
Dua puluh ribu? Itu kan malah
jumlah yang lebih besar dari gadai rumah ini.
DARPO
Soalnya bukan perbandingan.
Solanya, apa yang bisa saya dapat kontan, untuk bukuku, untuk kemerdekaanku.
NANI
Jadi itulah sebabnya ia
menginginkan ayah pergi? Bangsat dia… Ia tentu tahu surat warisan ayah…
DARPO
Ya, bahwa rumah diwariskan
pada saya. Ia tahu, saya ceritakan kepadanya.
NANI (sedih)
Betapa kejinya lelaki itu.
DARPO (membujuk)
Seandainya hal itu terjadi,
seandainya… saya akan berikan separohnya buat kau, untuk biaya kawinmu dan itu
sudah cukup adil.
NANI (kalap)
Uang haram… Kau kira saya mau
menyentuhnya?
DARPO (membujuk)
Itu kulakukan untuk adilnya,
saya akan mau membaginya pada kau.
NANI
Ya, Allah, Darpo… Apa kau
mencoba menyuap saya?
DARPO
Tidak. Itu bagianmu dengan
segala kejujuran (dengan senyum yang aneh)
Kau lupa bahwa saya juga ahli waris dari harta yang terpendam itu dan saya akan
cukup kaya untuk bermurah hati. Ha.. ha..ha..
NANI (kuatir)
Darpo, kau ganjil, kau sakit,
mas. Kau tak pernah bicara begitu jika sadar. Oh… kita harus pergi dari sini,
kau dan ayah juga saya. Biar Umar menyita rumah ini. Akan ada yang lebih baik
dari rumah ini dan kita akan pindah ke sebuah pondok kecil, di tepi laut,
supaya ayah bisa…
DARPO
Bisa bermain gila-gilaan
dengan saya, membisikkan impian-impiannya pada saya, memandangi laut dan
mengejek seperti ini? (ia mengambil
gelang dari sakunya, Nanti memandangnya, membuat ia mundur ke sudut dan bicara
ngeri) Tidak… Tidak… SUdah terlambat untuk bermimpi. Sangat terlambat… Akan
ku tenggelamkan mimpi-mimpi itu di malam ini juga, untuk selama-lamanya.
NANI (memandangnya dan sadar apa yang ditakutinya
selama ini, menjadi kenyataan, ia mengeluh hampir pingsan)
Jadi kau telah melakukannya?
Oh.. Darpo… terkutuklah kau… Kau telah menjual ayah.
DARPO
Ssstt. Apa katamu? Dia lebih
baik lenyap dari laut.
NANI
Kau telah menjual dia.
DARPO
Tidak. Tidak (mengambil peta dari saku) Dengar kau,
Nani. Demi Allah dengarkan saya. Lihat peta pulau itu dan tanda silang di mana
harta itu terpendam. Aku telah membawanya bertahun-tahun. Tak ada gunanya. Kau
tak mengerti, apa artinya. Peta ini terbeber antara diriku dan buku-bukuku,
antara diriku dengan kehidupan dan menderaku menjadi gila. Ayah mengajariku
untuk menunggu dan berharap, menunggu dan berharap hari demi hari. Ayah
membuatku ragu terhadap daya otakku dan menipu mataku. Ketika harapan lenyap.
Maka aku baru sadar bahwa segalanya itu Cuma mimpi. Dan aku tak kuaa
membunuhnya. Namun aku selalu tetap yakin kalau Tuhan mengampuniku. Dan ini
namanya gila-gila. Dengar kau?
NANI
Dan itu sebabnya kau membenci
ayah?
DARPO
Bukan… Tidak begitu (gila) Ya… Memang aku membenci dia, yang
telah mencuri otakku. Akuharus membebakan diri dari kegilaannya.
NANI
Darpo, jangan. Kau bicara
seolah-olah…
DARPO
Seolah-olah saya gila? Kau
memang benar, tapi aku tidak mau gila lagi. Lihat (ia membakar peta dan keduanya memandangi peta terbakar) lihatlah,
bagaimana aku membebaskan diri dan untuk fakta-fakta itu, seperti kata dokter.
Dokter dari rumah sakit jiwa. Lihat… betapa peta itu hangus terbakar, lenyap…
Berkas terakhir peta itu dan satu-satunya salinan dibawa oleh Ilyas di dasar
laut. Musnah.. akhirnya aku bebas darinya. Ya, aku telah jual dia untuk
menyelamatkan jiwaku. Mereka telah berangkat dari rumah sakit gila, kemari,
untuk mengambil ayah. (tiba-tiba
terdengar teriakan “ahoyyyyyyy” di atas dan derap sepatu, terdengar pintu di
tutup kembali dengan keras. Nanti dan Darpo terkejut dan membantu Kapten
menuruni tangga, menuju ruangan)
NANI
Yaa Allah dengarkah dia?
DARPO
Ssstttt. (Kapten masuk)
KAPTEN
Sedang berpikir bahwa saya
gila,bukan? Berpikir bahwa selama tiga tahun ini kapal “MARLINI” telah
tenggelam?
DARPO
Tidak. Ayah . Saya…
KAPTEN
Jangan dusta. Engkau yang
telah kuputuskan untuk menjadi ahli warisku, merencanakan untuk menyingkirkan
diriku. Merencanakan untuk menjebloskan ayahmu ke dalam penjara.
NANI
Tidak ayah.
KAPTEN
Bukan engkau, anak manis.
Engkau anak ibumu…
DARPO
Ayah berpikir bahwa saya…
KAPTEN
Ada dusta di matamu, aku baca
di sana. Kukutuk kau…
NANI
Ayah jangan.
KAPTEN
Biarkan ayahmu, anak manis.
Dia percaya bukan? Dan ayah tidak mau dia jadi penghianat, mengejekku dan
mengatakan bahwa semua ini hanya suatu kebohongan belaka. Ia telah mengejek
dirinya sendirinya, telah menganggap dirinya bodoh untuk mempercayai bahwa
semua ini Cuma impian.
DARPO
Ayah keliru, aku
mempercayainya.
KAPTEN
Ya, sekarang kau akui. Siapa
yang tidak mempercayai matanya sendiri?
DARPO
Mataku?
KAPTEN
Engkau tidak melihat kapal
itu? Engkau tidak mendengar aku memanggilmu?
DARPO
Panggilan? Aku mendengar
teriakan. Tapi panggilan apa? Melihat apa?
KAPTEN
Yah, kini hukumanmu
pengkhianat. Kapal “MARLINI” telah kembali dari laut Jawa, kapal itu kembali
seperti pernah kujanjikan.
NANI
Ayah, tenanglah. Tidak
terlihat apapun.
KAPTEN (tak peduli. matanya menatap hipnotis pada Darpo)
Kapal “Marlini” telah kembali
setengah jam yang lalu, sarat bermuatan emas. Tidak ada sekeping karang pun
padanya. Marlini, merapat pelabuhan, nah seperti kujanjikan, Marlini membongkar
sauhnya tepat ketika aku menyerunya.
DARPO (terhipnotis dan nyalang memandang ayahnya)
Marlini ? Tapi bagaimana ayah
tahu?
KAPTEN
Tidak mengenal kapalku
sendiri? Kau sudah gila…
DARPO
Tapi pada suatu malam seorang
kelasi telah…
KAPTEN
Tidak benar, kataku. Kapal
“Marlini” jelas kulihat di malam terang bulan purnama seperti sekaran. Dan
perhatikan, masih ingatkah kau sinyal yang aku berikan kepada Ilyas bila
merapat pelabuhan di waktu malam?
DARPO (pelan-pelan)
Cahaya merah hijau di puncak
layar…
KAPTEN (menang)
Kalau begitu, lihatlah
keluar. Engkau dapat melihatnya dengan jelas dari sini. Kau sudah mempercayai
matamu sendiri? Lihatlah sendiri dan sebutlah bahwa saya gila. (Darpo melihat dari jendela dan
terhenyak-terkejut)
DARPO (pelan-pelan)
Cahaya merah dan hijau di
puncak layar. Ya, amat jelas seperti siang hari.
NANI (khawatir pada Darpo)
Coba kulihat (ke jendela)
KAPTEN (penuh kepuasan)
Ya, kau kini telah melihatnya
secara jelas, namun telah sangat terlambat bagimu. Dari sini aku melihat Ilyas
dan Kanaka dengn sangat jelas berjalan hilir mudik di geladak, di tengah terang
bulan sedang memandang padaku. Marilah (Kapten
di iringi Darpo menuruni tangga. Nanti berpaling dari jendela wajahnya
mengekspresikan ketakutan. ia menggelengkan kepala. tiba-tiba terdengar
teriakan Kapten,” marlini, ahoooiii” kemudian disusul teriakan Darpo, Nanti
tampak menggigil dan menutup wajahnya dengan tangan. Darpo masuk matanya liar
dan penuh gairah)
NANI
Malam ini keadaan sangat
buruk, Darpo. Kau harus menghiburnya, itulah obat yang paling penting dan baik.
DARPO (liar)
Menghiburnya? Persetan apa
yang kau maksudkan?
NANI
(menunjuk dari jendela) Tak tampak apa-apa di sana, Darpo. Tak ada
kapal apapun di pelabuhan sana.
DARPO
Goblok kau atau buta? Kapal
“Marlini” ada di sana di mata siapapun dengan cahaya merah dan hijau di puncak
layarnya. Orang-orang yang goblok telah menyebarkan berita bahwa “Marlini”
tenggelam dan aku telah dibodohi.
NANI
Tapi Darpo, tak ada apa-apa
di sana (ke jendela) Tidak ada kapal
di sana.
DARPO
Aku melihatnya. Aku melihat
kapal itu. Dari atas sini semuanya kelihatan sangat jelas. (Darpo duduk dan Nanti mengikutinya)
NANI
Darpo, kau tidak boleh
membiarkan hal ini, kau berdua pada menggigil dan kesurupan, Darpo. (Nanti meletakkan tangan di dahi Darpo,
memeriksa panas badan)
DARPO (mengelak)
Kau si buta yang tolol (Kapten masuk, wajahnya telah kembali seperti
telah mengalami mimpi yang menjadi kenyataan)
KAPTEN
Mereka telah menemukan
sekoci, Ilyas, Kanaka dan Karto. Mereka sedang berlabuh ke pantai. Akumendengar
desah dayung mereka. Dengar… (hening)
DARPO (gembira)
Aku mendengarnya.
NANI (duduk dekat Darpo, memperingatkan)
Itu hanya suara angin dan
ombak Darpo
KAPTEN (tiba-tiba)
Dengar. Mereka telah
mendarat. Mereka telah kembali seperti aku janjikan, mereka akan segera ke
kamar ini… (Kapten berdiri tegang, Darpo
berdiri dari kursi. suara angin dan ombak laut tiba-tiba berhenti, cahaya hijau
memasuki ruangan seolah-olah melukiskan kedalaman laut)
DARPO (memegang tangan Nanti)
Lihatlah, bagaimana cahaya
berubah hijau dan emas (menggigil)
Jauh di bawah laut aku tenggelam bertahun-tahun (histeris) Selamatkan aku, selamatkan… selamatkan aku.. ohhh….
NANI (memegang tangan Darpo dan menghibur)
Itu hanya cahaya bulan Darpo.
Tidak ada yang berubah tenanglah, sayang. Tidak terjadi apa-apa.
KAPTEN
Mereka berjalan
perlahan-lahan, sangat perlahan-lahan. Beban mereka berat dua peti. Dengar
mereka sudah ada di bawah, kalian dengar?
DARPO(beranjak ke pintu)
Ya, saya mendengarnya. Pintu
telah saya biarkan terbuka.
KAPTEN
Untuk mereka.
DARPO
Ya, untuk mereka.
NANI
Ssttt… (terdengar suara pintu dibanting di ruangan bawah)
DARPO (pada Nanti, gembira)
Itu mereka, Engkau dengar?
NANI
Hanya hempasan angin Darpo….
KAPTEN
Mereka telah naik (berteriak) Naiklah anak-anak. Mereka
keberatan membawa peti itu. (terdengar
kaki-kaki telanjang menaiki tangga)
DARPO
Sekarang kau dengr mereka?
NANI
Hanya tikus-tikus berlarian,
tidak ada apa-apa Darpo…
KAPTEN(menuju ke pintu dan membukanya)
Ayolah anak-anak. Masuklah
dan selamat datang dirumahku. (nampak
tubuh ilyas, karto dan kanaka membawa peti yang berat. semua telanjang kaki,
pakaian mereka baah dan air masih kelihatan menetes, rambut mereka dikotori
oleh ganggang laut. mata mereka menatap kosong dan gerakan tubuh mereka di
bawah cahaya hijau sangat lamban dan berirama seolah merupakan gerak teratur
dari kedalaman laut)
DARPO
(menyongsong mereka) Lihat … (gila)
selamat datang anak-anak.
NANI
Duduklah, Darpo… Tidak ada
apa-apa. Tak seorangpun ada di sini. Ayah, duduklah.
KAPTEN (menaruh jari di mulutnya)
Jangan-jangan di sana,
anak-anak di sini, jangan di depan dia (menunjuk
Darpo) Dia tidak punya hak sekarang, mari harta itu milik kita. Kita akan
pergi jauh bersama-sama. Mari,.. mari (Kapten
menggabungkan diri dengan mereka. bergerak ke atas diikuti ketiga anak buahnya.
ilyas menepuk bahu Kapten lalu menyerahkan secarik kertas. Kapten menerimanya
dan tersenyum) Benar… benar.. (dia
naik diikuti ketiga anak buahnya)
DARPO (gila)
Tunggu … (bergerak menuju mereka, Nanti menariknya)
NANI
Darpo, jangan… ayah, kembalilah…
DARPO (melepaskan diri dari Nanti)
Ayah… (lari naik)
NANI (histeris, lari mengejar ke arah tangga)
Tolong… Tolong… (ketika sampai di tangga, Dokter masuk
tergea-gesa)
DOKTER
Tunggu nona… Apa yang
terjadi…
NANI
Ayah di atas sana.
DOKTER
Aku tidak melihat, di mana
senterku… (Dokter menyenter wajah Nanti
yang kena teror. kemudian menyenter seluruh ruangan. cahaya hijau lenyap. suara
angin dan laut terdengar kembali. cahaya bulan mauk melalui lubang-lubang
jendela-jendela bundar, Darpo mengetuk-ngetuk daun pintu dia di atas tangga)
Kesini Darpo… coba saya tolong.
DARPO (melihat ke bawah, kepada Dokter)
Mereka telah mengunci pintu
ini.
DOKTER (menaiki tangga)
Apa yang terjadi, Darpo?
Semua pintu terbuka lebar.
DARPO (berlari turun memperingatkan)
Hati-hati bung, hati-hati
terhadap mereka.
DOKTER (bicara dari atas)
Mereka? Mereka siapa? Tak
seorangpun ada di sini. (tiba-tiba ada
bahaya) Naiklah tolong dia pingsan (Darpo
naik pelan-pelan Nanti menyalakan lentera. terdengar suara ribut di atas. mereka
muncul kembali menggotong Kapten menuruni tangga) Hati-hati… (mereka menaruh Kapten di bale-bale. Nanti
menaruh lentera di bale itu. Dokter mendengarkan detak jantung Kapten, kemudian
menggelengkan kepalanya dengan ekspresi wajah pasti)
NANI
Meninggal?
DOKTER (mengangguk)
Serangan jantung saya kira.
Saya kira akan lebih baik…
DARPO (seolah-olah trance)
Ilyas tadi memberikan sesuatu padanya. Engkau
melihatnya bukan?
NANI
Oh.. Darpo… Diamlah ayah
telah meninggal (memohon kepada Dokter)
Silahkan meninggalkan kami, Dokter.
DOKTER
Apakah tidak ada yang dapat
kubantu lagi…?
NANI
Maaf, Dokter. Silahkan,
silahkan Dokter, meninggalkan kami Dokter…
DARPO
Tidakkah engkau melihat Ilyas
memberikan sesuatu padanya?
NANI (menangis)
Darpo pergilah, pergi… Jangan
kau sentuh ayah… Darpo. (Darpo tidak
ambil peduli matanya menatap tangan Kapten yang tergantung di samping tempat
tidur, Darpo dengan terpaksa membuka jari-jari tangan Kapten untukmengambil
secarik kertas yang digenggamnya).
DARPO (melambaikan kertas tersebut dan berteriak
dengan penuh kemenangan)
Lihat …(MENUJU KE LENTERA
UNTUK DAPAT MELIHAT APA YANG TERTERA DALAM KERTAS TERSEBUT) Peta pulau itu,…
lihat… Peta ini tidak akan lepas dariku selama-lamanya. Masih ada kesempatan,
yaitu kesempatanku… (DENGAN KEGILAAN) Jika rumah ini telah terjual aku akan
pergi dan aku akan mendapatkan harta itu. Bacalah di sini tertulis dengan
tulisan tangan ayah “Harta karun terpendam di tempat tanda silang”…
NANI (MENUTUP
MUKANYA, MENANGIS SEJADI-JADINYA)
Oh, Tuhan… Pergi… pergi….
Pergilah… Darpo… pergi….
SELESAI
Diketik
ulang oleh Studio Teater PPPG Kesenian Yogyakarta
Januari
2007
Teater Jabal, Sanggar Jabal, Seni Pertunjukan, Seni Teater, Seni Drama, Pentas Produksi, Naskah Teater, Berita Seni
0 Komentar