MONOLOG DARI TIGA KAMAR Karya : Iswadi Pratama
PANGGUNG DIBAGI DALAM TIGA AREA.
DI SISI KANAN PANGGUNG ADALAH SEBUAH KAMAR SEDERHANA DENGAN MEJA DAN BANGKU KAYU YANG SUDAH RAPUH, DI ATASNYA BERSERAK BEBERAPA BUKU. DI SUDUT MEJA TERDAPAT SEBUAH VAS BUNGA DARI BAHAN TANAH LIAT DENGAN HIASAN BUNGA ILALANG YANG MASIH SEGAR. DI SISI LAINNYA, TERDAPAT SEBUAH JENDELA YANG MENGHADAP KE SEBENTANG SAWAH YANG TERLETAK DI SAMPING RUMAH.
DI SISI KIRI PANGGUNG ADALAH KAMAR DENGAN TATA RUANG YANG SAMA. DI ATAS MEJA TERDAPAT SEBUAH MESIN TULIS TUA DAN VAS BUNGA DARI BAHAN GELAS DENGAN HIASAN BUNGA ILALANG YANG SUDAH KERING, JUGA BEBERAPA TUMPUK BUKU FIKSI DAN JENIS TULISAN LAINNYA YANG TAMPAK LEBIH TERAWAT. JENDELA KAMAR MENGHADAP KE ARAH LANSKAP KOTA.
DI PANGGUNG BAGIAN TENGAH; SEBUAH MEJA DAN BANGKU, SETUMPUK BUKU, SEBUAH LAPTOP.
I
KETIKA LAMPU MULAI MENYALA, DI PANGGUNG BAGIAN KIRI, TAMPAK SEORANG PEREMPUAN USIA 30-AN, (BISA JUGA LAKI-LAKI) SEDANG MENULIS PADA MESIN TULIS TUANYA.
LARUT MALAM. LAMAT-LAMAT MUSIK BERNUANSA LEMBUT MENGALUN DITINGKAHI SUARA “TAK TIK” MESIN TULIS.
BEBERAPA SAAT KEMUDIAN PEREMPUAN ITU BERDIRI, MERENTANGKAN LENGANNYA, MENGUAP LEBAR, MEREGANGKAN OTOT-OTOT BADANNYA. LALU MENOLEH KE PANGGUNG YANG ADA DI SISI KANAN RUANGANNYA.TERSENYUM GETIR. BERSAMAAN DENGAN ITU, LAMPU DI PANGGUNG SEBELAH KANAN MENYALA, LALU TERDENGAR SUARA-SUARA SERANGGA DAN HEWAN DI MALAM HARI. BEBERAPA SAAT IA HANYA MEMANDANG DALAM DIAM.
Seharusnya kau ikuti nasihat mereka. Keras kepala. Apa akibatnya? Lihat ini! (menunjuk wajahnya sendiri) Sampai jadi jelek begini masih pontang-panting. Kau sih, terlalu menuruti gelora jiwa mudamu yang menggebu-gebu dan kurang pertimbangan. Penuh gairah memang, tapi tak logis. Coba kalau imajinasimu dulu tak ngawang-ngawang, tak akan sesulit sekarang keadaanku. Apa? Salahku sendiri? Enak saja kau ngomong. Kamu kan yang memilih semua ini?! Sok romantis! Sok beda dari yang lain! Terlalu percaya pada fiksi, pada puisi! Gayamu seperti seniman kaliber dunia; “estetika-estetika....” Nih lihat (mendekat ke mejanya sambil menepuk setumpuk kertas. Debu mengepul dari tumpukan kertas itu) Kamu sangka semua ini bisa membuatmu meraih apa yang kau impikan?! (Kembali duduk di bangkunya).
HENING
Coba kalau kau dulu bersikap patuh seperti teman-teman sekelasmu. Berfikir dan bertindak sebagaimana anak-anak yang waras pikirannya. Sekolah dengan baik. Hidup tertib. Menggembleng diri supaya menguasai keahlian di bidang yang lebih bernilai guna dan bisa diandalkan untuk mendapat pekerjaan yang layak.....
Kamu malah edan-edanan dengan fiksi, puisi, seni...halah....preettt....
Inilah hasilnya, begadang setiap malam demi menumpahkan segala ide, imajinasi, getaran-getaran lembut dari palung jiwa terdalam---semua yang tak bisa dienyahkan lagi, membayang-bayangi jiwamu sepanjang hayat.....mengilhami, menginspirasi, membentuk watak, karakter, keseimbangan......halah (menarik kertas yang masih terpasang pada rol mesin tulis).
LAMPU PADAM
II
LAMPU MENYALA DI PANGGUNG SEBELAH KANAN. PEREMPUAN/LELAKI YANG TADI BERBICARA KINI TELAH MENGENAKAN SERAGAM SISWI/SISWA SLTA. DUDUK DI BANGKUNYA MEMANDANG KE ARAH PENONTON.
Seperti anak-anak perempuan di kampung ini, saya juga tak tahu cerita istimewa apa yang pernah saya miliki dan bisa saya banggakan--selain cerita yang lumrah dan tak akan mengilhami siapa pun. Tapi sejak Guru Bahasa Indonesia kami menunjukkan sebuah puisi yang sangat indah, saya merasa seperti ada yang dituangkan ke dalam kepala dan dada saya, membuat semuanya terasa berbeda. Saya seperti dibimbing oleh kekuatan dari dalam diri saya dan tak bisa saya jelaskan. Saya tak pernah membenci pelajaran-pelajaran yang lain--tapi saya jadi cinta banget dengan puisi, novel-novel hebat dari pengarang-pengarang di negeri ini maupun pengarang dunia, musik, drama, lukisan, tari...semua keindahan dalam karya seniman yang tak habis saya kagumi. Tapi lalu teman-teman di kelas menganggap saya “sok tua”, “tua sebelum waktunya”, “orang aneh”, “gak matching dengan umur”, “sok berat”, “seniman anakan”..dan sejumlah “gelar khusus” lainnya saya peroleh. Teman-teman tidak mengucilkan saya, mereka hanya senang mengolok-olok demi bisa tertawa lantang bersama-sama. Tapi saya senang, setidaknya saya bisa membahagiakan mereka (Tersenyum kecut).
TIBA TIBA LAMPU DI PANGGUNG SEBELAH KIRI MENYALA
Apa? (menoleh ke arah panggung sebelah kiri). Aku mengacaukan hidupmu? Aku yang mengakibatkan nasib yang selalu kau keluhkan itu? Hei Nona.....oh maaf, kau masih Nona atau sudah Nyonya? O..masih Nona. Hah? Non-sens? What? Separuh Nona separuh Nyonya? What the hell.....Ok, apa pun statusmu, dengarkan saya:
di usia seperti saya sekarang, setiap orang harus membuat pilihan penting bagi hidupnya. Dan saya melakukannya: memilih! Saya tak mau hanya ikut-ikutan mereka yang menjalani hidup ini seolah-olah seperti warisan. Tinggal mengulurkan tangan dan menerima apa saja yang diberikan; lalu menjalaninya, menjadi tua dan mati. Saya tidak seperti itu. Kalau orang lain tak memilih apa yang saya pilih, itu hak mereka dan itu juga sebuah pilihan. Tapi saya juga tak mau terus-terusan kau salahkan dengan pilihan saya ini: Saya ingin jadi Pengarang: seniman! (Menggebrakkan tangannya di atas meja). That is my chooice....(Tersenyum) Jadi kau tak bisa terus-terusan mendatangi saya dan meminta saya mengubah pilihan saya ini. Tiada guna keluhan. Berhentilah merengek. Biarkan aku istirahat. Biarkan aku sempurna sebagai masa lalumu. Lihat dan terima hidupmu yang sekarang dengan berani.
Saudara-saudara, profesi yang saya pilih ini, mungkin memang tak menjanjikan financial yang hebat, popularitas berlimpah, atau status yang membanggakan bagi keluarga---Tapi saya harus melakoninya. Dan saya tahu, saya akan tak mendapat dukungan dari siapa pun. Mungkin mereka tak akan menghalangi saya karena saya keras kepala--tapi mereka pun tak akan menunjukkan dukungan. Saya hanya akan dibiarkan dengan pilihan ini, sambil diam-diam mereka berharap saya gagal, sehingga mereka bisa mencibir dan menunjukkan ke depan muka saya; bahwa pendapat merekalah yang benar. Lalu akan berkata pada saya--persis yang selalu kau katakan: (Mengubah-ubah bahasa tubuh dan gaya bicaranya demi memeragakan sosok-sosok yang ada di kepalanya)
“Kapok! Makanya, jadi anak jangan ngeyel!”
“Benar kan Viribus, bagaimana pun jadi PNS itu pilihan terbaik”
“Sudah banyak contoh, jadi profesi sepertimu itu mesti siap susah...kok masih nekat”
“Kalau sudah begini...siapa yang bisa menolongmu...?”
“Sekarang semuanya sudah terlambat, tho? Mau daftar pulisi, mustahil..... sudah berumur, mau ikut parpol supaya beranjak cepat kariermu...nggak mungkin, paling cuma kebagian peran hore-hore....Mau merintis bisnis, modal nggak cukup. Pinjam uang di bank, nggak akan ada yang percaya. Mosok mau sodorkan fiksi-fiksimu itu sebagai jaminan? (tersenyum sinis)
“Kalau saja kamu melanjutkan kuliah, minimal kamu punya ijazah S-1 untuk melamar kerja”
“Pikiranmu itu terlalu liar. Harusnya kamu bisa seperti anak-anak lain. Beres SMA nyambung kuliah, sesudah sarjana cari kerja, lalu menikah. Bahagia sampai tua, mati masuk surga! Itu yang bener..!
HENING. IA KEMBALI DUDUK ; MEMBELAI-BELAI BUNGA ILALANG YANG ADA DI VAS BUNGANYA.
Liar...saya tidak liar. Saya hanya ingin berpikir bebas. Saya juga megerti batasan-batasan. Saya cuma ingin memilih sendiri hidup yang akan saya jalani, menjelmakan apa yang telah mengilhami dan menggelorakan jiwa saya. Mengapa sebuah pikiran bebas harus selalu dicurigai dan dianggap berbahaya? Mengapa seorang anak SMA dianggap tak patut punya pandangan yang melampaui usianya? Apakah seorang remaja hanya pantas berpikir mengenai hal-hal yang remeh? Serba permukaan? Mengapa seorang remaja yang tidak suka dengan film dan novel percintaan yang cengeng dan lebay dianggap aneh? Apakah seorang perempuan seusia saya akan jadi sinting hanya karena menggemari puisi? Sastra? Apakah cita-cita yang dianggap benar harus selalu sesuai dengan standar hidup orang banyak? Apakah setiap orang yang belajar dan bekerja tekun hanya dianggap benar kalau bisa jadi PNS?
Polisi?Tentara?Pegawai Bank?Merintis Bisnis? Di luar profesi-profesi yang dianggap menjanjikan itu orang akan dianggap gagal atau keliru? Apakah menjadi seorang anak remaja sama artinya memenuhi kepalamu dengan; tempat nongkrong yang asyik, mengumpulkan sebanyak-banyaknya pertemanan di medsos? Gonta-ganti status fb supaya up-to date setiap hari? Sedang pe-de-ka-te dengan siapa? Berapa kali sudah ganti pacar atau masih jomlo? Mengumpulkan daftar hal-hal yang menyebalkan dan menyenangkan untuk jadi obrolan di hari libur sekolah? Selfie di semua tempat lalu meng-editnya supaya bisa dipajang jadi foto keren? Saya tidak membenci semua itu! Saya hanya tidak rela kalau hanya itu isi batok kepala saya ini! Saya hanya ingin melihat dan menjalani hidup saya dengan cara berbeda. Saya hanya tidak ingin hidup saya terlalu penuh dengan buih. Saya hanya ingin selalu bergelora; digerakkan oleh tenaga yang amat kuat dan murni dari dalam diri saya; terus menerus terilhami. Dan saya menemukannya dalam puisi, musik, sastra.... dalam seni. Apa itu salah?
Barangkali kalian juga mulai berpikir bahwa kata-kata saya ini, kalimat-kalimat yang saya ucapkan ini, bukan berasal dari alam pikiran seorang anak SMA? Atau barangkali juga ada yang mulai berkata dalam benaknya, “ah...bahasanya terlalu tinggi untuk remaja,” atau “ini sih cuma naskah drama, aslinya nggak begitu..”. Tidak! Ini memang saya. Semua ini keluar dari benak seorang remaja. Kalau banyak diantara kami hanya mengerti bahasa yang gampangan, dan selalu kesulitan mencerna bahasa yang sedikit berbobot, itu karena memang yang diberikan kepada kami terlalu banyak sampah. Beri kami kalimat-kalimat yang kuat, yang bisa menggedor jiwa kami. Beri kami bahasa yang punya kedalaman dan tempa kami untuk bersusah payah mencernanya; maka kami akan berbeda. Maka Anda tak perlu lagi menganggap aneh kalau ada seorang remaja seperti saya. (Menahan tangisnya)
HENING. SUARA SERANGGA MALAM.
(Lalu dia meraih selembar kertas dari mejanya dan membacanya dengan suara lirih dan mendalam)
Di antara pokok-pokok cladartis, jalan terpecah dua
Sebagai pengembara, aku tak bisa mengambil keduanya
Maaf jika aku terpaku lama memandangnya
Kupandang begitu rupa salah satunya
Sampai pada semak-semak di ujung sana Kupandangi juga jalan yang satu lagi
Sepertinya lebih menarik hati; rumputannya rapi seperti gampang dilalui bagi yang sudah pernah melewati Mungkin sama saja rasanya dengan yang tadi.
Pada pagi hari, kedua jalan itu terlihat murni
Tak ada jejak-jeka kaki, rerumputan tegak bestari
Oh, kuputuskan: kulalui jalan pertama esok hari
Meski tak tahu apa yang akan kutemui di ujungnya nanti
Tak juga tahu apakah aku akan kembali
Barangkali aku harus bercerita dengan duka
Suatu saat, pada umur kita, akan berjumpa
Persimpangan seperti jalan bercabang dua
Di mana aku telah berjalan pada salah satunya jalan yang jarang sekali di lalui. Dan itulah beda kita.
(Dia meletakkan kembali kertas itu di mejanya)
Itu tadi “Jalan yang Tak Ditempuh”, Puisi Robert Frost. Guru Bahasa Indonesia kami yang memberikannya pada saya sebelum ia berhenti mengajar karena ia hanya mengantongi ijazah D-3. Sementara semua guru di sekolah kami harus bergelar minimal S-1. Dia bilang; “Viribus, pilihah jalanmu sendiri, meski itu tak banyak dilalui orang lain. Selama ia membuatmu merasa terpaut dengan kuat pada hidupmu, tempuhlah. Dan setiap hari kau harus bilang pada dirimu sendiri: Raihlah hari ini.”
Tapi Guru yang selalu mengerti bagaimana membuat murid-muridnya berani melihat ke dalam dirinya sendiri itu, sudah tersingkir karena selembar ijazah. Untunglah dia punya keterampilan lain; membuka bengkel sepeda. Dari dia saya mendapat banyak buku-buku yang membuat jiwa saya selalu lapar pada hikmah; pada sesuatu yang bisa membuat pikiran saya terus menerus terjaga.
Dia pula yang membuat saya percaya dan tidak takut melakoni hidup. Lihat! Saya sanggup dan mungkin saya akan berhasil!
III
PEREMPUAN/LELAKI YANG BARUSAN BICARA BERALIH KE PANGGUNG SEBELAH KIRI DAN DENGAN CEPAT MENGUBAH PENAMPILANNYA MENJADI LEBIH DEWASA. IA TAMPAK CAPEK DAN KECEWA.Akan? Mungkin? Pemilihan tensis yang salah! Lihat, ini bukan lagi future tense, ini sudah present continous tense. Kamu sudah gagal. Lihat saya; ga-gal! Kalau saja dulu kamu tidak “sok puitis”, tidak nyecer guru Bahasa Indonesiamu untuk menjelaskan makna puisi itu, tentu kamu tidak akan keracunan ilham seperti itu. Kalau saja kamu tetap melanjutkan kuliahmu dan membiarkan Bapak menjual sepetak sawahnya untuk biaya pendidikanmu, tentu saya sudah jadi sarjana dan bisa dapat pekerjaan lebih bagus. Tapi kamu malah bertingkah bak filosof Yunani Antik, kamu bilang: “Sawah tak boleh dijual, itu bukan cuma sumber penghasilan, itu sumber nilai dan hidup Bapak, itu cara Bapak menjalani hidup, menunjukkan Bhakti pada Tuhan dan kehidupan. Kalau semua petani berpikir menjual sawahnya demi biaya pendidikan anak-anaknya, bangsa ini akan kehilangan besar!” Halah....Gayamu...selangit!
Kamu menyedihkan! Menyangka dirimu telah memilih hal yang benar karena mengikuti dorongan dari dalam jiwamu, padahal akibatnya bisa kau lihat sendiri pada saya sekarang. Kamu menyedihkan! Kamu hanya seorang yang ingin eksentrik, beda, unik, dianggap berpikiran bebas dan mampu mandiri, sementara diam-diam kamu abaikan dirimu sendiri. You have no self respect. That is You!
HENING. MUSIK MENGALUN LIRIH.
IV
PEREMPUAN ITU BERALIH KE PANGGUNG TENGAH. USIANYA SEKARANG SUDAH MENJELANG 50 TAHUN. DUDUK DAN MENULIS PADA LAPTOPNYA. BEBERAPA DETIK KEMUDIAN BANGKIT SERAYA MELEPAS KACAMATANYA. BERBICARA PADA AUDIENCE.
Saya susah sekali mendamaikan keduanya. Mereka terus menerus bertengkar. Padahal cerita ini harus saya bereskan besok. Pihak penerbit sudah memberi dead-line. Mereka tahu, seluruh anak-anak remaja di negeri ini membutuhkan bahan cerita yang bisa mengilhami sebuah perubahan besar dalam hidup mereka. Sebenarnya, sejak 10 tahun terakhir saya agak kewalahan meladeni banyaknya permintaan dari penerbit juga para produser film yang tertarik pada masalah-masalah remaja. Mereka butuh sesuatu yang lebih punya bobot dan menginspirasi.
Itu adalah kekuatan untuk bersaing! Saya hampir kehabisan ide, makanya saya ambil dari kisah hidup saya sendiri. Tapi malam ini saya sudah lumayan capek. Saya akan sangat menghargai kalau Anda semua berkenan memberi ide bagaimana mengakhiri konflik antara dua tokoh dalam cerita saya ini. Supaya tidak berlarut-larut dan saya bisa segera istirahat. (Melihat jam) Tapi, tunggu dulu.....sebelum
Anda semua memberi pendapat, saya mohon diri sebentar ke dalam. Anak saya yang paling kecil akan segera tidur, dan saya harus membacakan dongeng untuknya. Permisi. (Baru beberapa langkah meninggalkan panggung, Ia kembali lagi). Ssssttt...
tolong jangan terlalu ribut. Nanti mereka berdua muncul lagi dan bertengkar lagi.... ok? Permisi.
Bandar Lampung 14 Januari 2018
SELESAI
Teater Jabal, Sanggar Jabal, Seni Pertunjukan, Seni Teater, Seni Drama, Pentas Produksi, Naskah Teater, Berita Seni
0 Komentar