Advertisement

Responsive Advertisement

Workshop Penulisan Cerpen (Menulisi Tanggamus) YF Lubay

Workshop Penulisan

Cerpen


(Menulisi Tanggamus)

YF Lubay

Cerita apa yang bisa ditulis tentang (orang-orang) Tanggamus? Pertanyaan tersebut mendekam di kepala saya beberapa hari sebelum saya menulis makalah sederhana ini. Mungkin pertanyaan di atas, dengan tempat dan masalah yang berbeda, saya duga, mendekam pula di kepala Seno Gumira Ajidarma saat berada di kota Dili.

Dengan konflik yang ada di kota Dili, saat itu di masa pemerintahan otoriter Orde Baru, Seno berusaha mencari jalan keluar untuk menyingkap fakta-fakta dan data-data orang yang dibunuh di sana—dan dari kumpulan fakta juga data tersebut lahirlah cerita pendek berjudul Misteri Kota Ningi.

Ningi adalah nama yang dimaksudkan Seno untuk menyebut Dili, Timor Timur. Seno menggunakan aksara palawa dan jawi kuna: Ni untuk Di dan Ngi untuk Li. Maka lahirlah Ningi. Secara eksplisit Seno ingin menceritakan tentang Misteri Kota Dili; kejahatan kemanuisaan, pembantaian pemerintah Orde Baru terhadap rakyat Dili.

Namun, contoh pertanyaan Seno Gumira yang telah diuraikan di muka, tampaknya terlalu berat untuk kepala teman-teman teater Jabal. Oleh karena terlalu berat, maka saya berharap teman-teman Jabal dapat menemukan cerita-cerita sederhana mengenai kehidupan teman-teman sendiri atau kehidupan orang-orang Tanggamus. Cerita apa saja, peristiwa apa saja.

Lalu, apa yang harus ada dan paling penting dalam sebuah cerita atau peristiwa, dalam hal ini cerita pendek (cerpen)? Jawabannya: Konflik—dapat disebut juga sebagai problem atau masalah ... sebab, tanpa konflik, cerpen akan terasa flat dan membosankan.

Konflik dalam cerpen mensyaratkan adanya peristiwa dan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Konflik dalam peristiwa yang melibatkan tokoh di dalamnya dapat dirumuskan menjadi seperti ini: A melawan B atau yang bukan B—atau dapat juga diformulasikan ke dalam bentuk pribahasa, (a) Sudah jatuh tertimpah tangga (tokoh bernasib malang), (b) Bangkit lagi sesudah jatuh tertimpah tangga (tokoh berusaha bangkit  dari kemalangannya).

Selain itu, cerpen dibangun oleh atau dengan material bangunan seperti Narasi (kronologi waktu), Deskripsi (penggambaran-penggambaran), dan Dialog (percakapan antar tokoh).

Kemudian, bagaimanakah cara membuat konflik dalam cerpen? Jawabannya adalah dengan merumuskan kalimat atau paragraf pembukanya.

Berikut ini beberapa contoh kalimat dan paragraf pembuka dalam satu cerpen atau novel yang langsung megandung konflik dengan menggunakan teknik for shadowing (memaparkan konflik sejak awal)—teknik for shadowing dianggap paling efektif memancing rasa penasaran pembaca untuk terus menelusuri cerita. Beberapa penulis yang sering memakai teknik tersebut adalah Gabriel Garcia Marquez, Mario Vargas LLosa, Franz Kafka, dan Eka Kurniawan:

Pada ulang tahunnya yang ke-18, Karmila membenturkan dirinya ke kereta...

Dengan kalimat pembuka cerpen seperti di atas, pembaca akan berusaha menemukan Siapa sebenarnya Karmila dan Mengapa ia membenturkan dirinya ke kereta.

Setelah sholat Jum’at, Aswin mencuri tiga kotak susu bubuk di Alfamart.

Kalimat pembuka di atas memancing pembaca untuk bertanya-tanya siapakah sebenarnya Aswin dan mengapa ia mencuri susu kotak setelah sholat Juma’t?

Pada Minggu pagi di bulan Juli yang anginnya berhembus tenang, Anwari memutuskan untuk melompat dari puncak gedung rektorat.  

Kalimat pembuka di atas memancing pembaca untuk bertanya-tanya siapakah sebenarnya Anwari dan mengapa ia sampai nekat melompat dari puncak gedung rektorat? Matikah ia? Atau hanya patah kaki dan pecah kepala? Dst.

Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematian...

Kalimat pembuka dalam novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan di atas akan memancing pembaca menulusuri siapa sebenarnya Dewi Ayu dan kenapa dia bisa bangkit dari kubur, siapa pembunuhnya, dan tahun berapakah peristiwa tersebut terjadi.

Namun, dalam menulis cerpen, kita tidak melulu mesti menggunakan teknik for shadowing. Banyak penulis menggunakan beragam teknik untuk menuliskan cerita mereka. Kita ambil saja contoh kalimat atau paragraf pembuka dalam cerpen Misteri Kota Ningi karya Seno Gumira Ajidarma berikut ini:

Pada malam natal itu, lonceng gereja berkeloneng, dentangnya bergema ke seluruh penjuru Kota Ningi. Kudengar gema paduan suara menyanyikan malam kudus, dan di langit kulihat bintang-bintang begitu terang. Kehidupan manusia begitu fana—tapi bukankah kita selalu percaya, ada sesuatu yang bernilai abadi dalam hidup ini? (Narasi-deskripsi)

Dari kalimat atau paragraf pembuka cerpen di atas pembaca akan sedikit bertanya-tanya  di manakah Kota Ningi? Dan apa yang terjadi di kota itu pada saat malam natal?

Atau dalam kalimat atau paragraf pembuka cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan karya Umar Kayam di bawah ini:

Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela. (Deskripsi dan berikutnya disajikan dalam bentuk Dialog)

Dari kalimat atau paragraf pembuka cerpen di atas pembaca akan sedikit bertanya-tanya siapa sebenarnya Marno dan Jane? Sepasang suami-istrikah? Atau hanya kawan lama yang bertemu di suatu tempat?

Dalam “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”, 80% cerita dibangun oleh dialog dan 20% oleh narasi-deskripsi. Sementara itu konflik disisipkan dalam percakapan antar tokoh (dialog).

Jadi, sekali lagi, teman-teman sekalian, cerpen adalah cerita pendek. Dia adalah peristiwa atau kisah yang telah difilter, dikristalisasi, ‘dipendekkan’, dan mengandung konflik atau pertentangan antara dua tokoh atau lebih, antara dua hal, dua prinsip, dua sikap, dua entitas, dua kubu—A melawan B atau yang bukan B. Yang terang harus bersih mau ngomongin apa. Badannya boleh narasi, deskripsi, dan diaog atau gabungan ketiganya. Matanya boleh SP 1, SP 2, atau SP 3. Boleh mata manusia, mata kuda, mata belalang, mata capung, mata elang, mata cacing, atau mata anjing. Daleman badan atau isi ceritanya bisa saja liar, bisa mengandung atau berlandaskan term dan ideologi tertentu. Tapi ingat, harus tetap mengikuti rel atau pakem Five Canons-nya Aristoteles, harus tetap tertib linguistik: ejaan, sintaksis dan stilistika dan lain sebagainya. Alur boleh linear, boleh maju-mundur, boleh bolak-balik, atau boleh fragmentatif. Namun, mungkin, boleh diartikan sebaliknya. Definisi yang telah saya uraikan itu boleh dikurangi, ditambah, atau digugat. Boleh diikuti atau dibuang percuma.

  • Sekilas Soal plot

Plot adalah media yang dipakai penulis cerpen untuk menyusun jalannya cerita. Biasanya plot berisi eksposisi, komplikasi, penggawatan, klimaks, resolusi. Plot yang paling sering disebut dalam buku teori sekolah adalah plot linear (berurutan) dan plot kilas balik atau flash back (sama dengan for shadowing). Secara sederhana, plot yang diperkenalkan oleh Aristoteles adalah berbentuk kurva lonceng: awal, tengah akhir. Atau versi Ayu Utami disebut sebagai Ci Luk Ba.  
 
  • Sekilas Soal Sudut Pandang (SP) atau Point of View (PoV)

Sudut pandang adalah cara tatap yang dipilih penulis untuk memandang persoalan. Ada tiga macam sudut pandang (SP) yang dapat dipakai dalam menulis cerpen, di antaranya SP 1 (aku), SP 2 (dia atau kami), dan SP 3 (menyebut nama orang ketiga tunggal; Aswin atau jamak; mereka). Biasanya Sudut Pandang orang ke-3 itu bersifat serba tahu—tahu isi hati dan pikiran masing-masing tokohnya. Namun, dalam sudut pandang, tokoh tidaklah mesti manusia, sebab bisa jadi tokohnya adalah arwah bayi, ikan lele, bebek, spidol, selingkar gelang akar bahar, motor matic, atau mobil sedan.

Demikianlah, keputusan penggunaan Sudut Pandang, diserahkan seluruhnya kepada teman-teman.

Terima kasih.


Lampung Timur, 3 Januari 2019


Biodata Pemateri:

YF Lubay, lahir di Lampung Timur, 24 Juli 1986. Aktor teater, cerpenis, dan novelis ini juga adalah seorang pemerhati kucing-kucing kampung dan jembatan-jembatan kuning. Selain itu, sekarang, setiap malam, setelah membaca salawat nariyah, ia khusyuk menghitung seratus butir beras yang dicecer di permukaan karpet abu-abu penuh debu untuk dipindah dan ditaruh ke dalam mangkuk kecil berwarna hijau.
Lebih baik marah dari pada putus asa adalah motto hidupnya.





Teater Jabal, Sanggar Jabal, Seni Pertunjukan, Seni Teater, Seni Drama, Pentas Produksi, Naskah Teater, Berita Seni

Posting Komentar

0 Komentar