Naskah Teater Lakon KOTA TAK HENTI BERNYANYI Karya Ramatyan Sarjono
KISAH INI TERJADI PADA SEBUAH RUANG TERBUKA, DI TENGAH KOTA, TEMPAT BERTEMUNYA ORANG-ORANG DENGAN BERBAGAI LATAR BELAKANG. BARANGKALI BUKAN BENAR-BENAR BERTEMU, SELAIN HANYA BERADA DI TEMPAT YANG SAMA DALAM WAKTU YANG BERSAMAAN. MEREKA, PUNYA ALASAN YANG TIDAK HARUS SAMA UNTUK DATANG, ADA YANG SEKEDAR MELEPAS LELAH, ADA YANG MENGISI PERUT KARENA DIRUMAH TIDAK ADA MASAKAN, ADA YANG MENGHIBUR DIRI MEMBUANG SEGALA BEBAN PIKIRAN, ADA JUGA YANG ISENG-ISENG MENCARI PASANGAN. BARANGKALI HANYA BEBERAPA ORANG PEDAGANG MAKANAN, MAINAN ANAK-ANAK, JUGA PEREMPUAN-PEREMPUAN PELACUR YANG BERTUJUAN MENCARI REJEKI.
TEMPAT ITU MUNGKIN SEBUAH TAMAN KOTA, MUNGKIN JUGA BUKAN. BISA JADI, DIA HANYA SEBUAH ALUN-ALUN, SISA PENINGGALAN SEJARAH KOTA.
ADEGAN DIAWALI DENGAN MASUKNYA BEBERAPA ORANG PEMAIN KE ATAS STAGE, KETIKA LAMPU-LAMPU BELUM DINYALAKAN. MEREKA MENGAMBIL POSISI SEDEMIKIAN RUPA, DENGAN KARAKTER BERUPA-RUPA, TERCERMIN DARI PROPERTY YANG DIBAWA DAN BERADA DISEKITARNYA.
BERMULA SEORANG PEMAIN MENYANYIKAN SEBUAH TEMBANG, BERSAMAAN WAKTU DENGAN SEBUAH LAMPU MENYOROTNYA UNTUK KEMUDIAN KEMBALI PADAM. DEMIKIAN SATU PERSATU PEMAIN MENYANYIKAN TEMBANG YANG SAMA, SECARA BERGANTIAN.
Syair tembang itu berbunyi
IBUKU
DARAHKU
TANAH AIRKU
TAK RELA
KUMELIHAT
KAU SEPERTI ITU
ADA APAKAH ……………… ??????
SETELAH SEMUA PEMAIN MELAKUKAN HAL YANG SAMA, JUGA BEBERAPA ORANG PEMAIN YANG NAIK KE STAGE BELAKANGAN, AKHIRNYA SECARA BERSAMA MEREKA MENYANYIKAN TEMBANG ITU, LAMPU SEMUA MENYALA, UNTUK KEMUDIAN PADAM SEIRING HILANGNYA SUARA PEMAIN.
STAGE GELAP, PEMAIN DIAM, SUNYI ……………!
DIAM-DIAM SEMUA PEMAIN OUT, KECUALI DUA ORANG WANITA YANG TETAP BERADA DI TEMPATNYA. MEREKA ADALAH SEORANG PENJUAL JAGUNG BAKAR DAN SEORANG LAGI WANITA MALAM, YANG MASING-MASING TENGAH BERSIAP-SIAP MENYAMBUT PELANGGAN ADA JUGA SEORANG BOCAH DI SATU SUDUT PANGGUNG YANG TAMPAK SEDANG MEMBANGUN RUMAH – RUMAHAN DARI BONGGOL JAGUNG.
BLACKOUT
ADEGAN I
SUBIAH, PENJUAL JAGUNG BAKAR ITU TENGAH MENYALAKAN BARA PEMBAKARAN, SEMENTARA SRIWIT; SI WANITA MALAM, DUDUK DIATAS GELARAN TIKAR SEMBARI BERSOLEK MEMPERCANTIK DIRINYA DENGAN LIPSTIK DAN BEDAK MURAHAN TENTUNYA.
SUBIAH (sesekali melirik Sriwit, sedikit tersenyum sinis) : “Kamu pikir dengan mempertebal bedakmu, kamu mampu menutupi garis-garis ketuaan di wajahmu, Sri? Mbok eling, kamu itu sudah mulai tua, garis-garis keriput diwajahmu itu, semakin lama semakin tampak nyata !”
SRIWIT (sedikit menoleh pada Subiah, kemudian melanjutkan aktivitasnya) : “Lha gimana lagi mbak, para lelaki itu, para pelangganku itu, selalu menuntut aku untuk tampil cantik. Dengan apa lagi aku akan kelihatan cantik, kalau tidak dengan bedak dan gincu ini ?” (setelah memasukkan semua alat make-upnya ke dalam tas kecil)
“Sampean sih enak, tidak butuh penampilan, pelanggan Mbak Subi juga nggak pernah menuntut yang macam-macam, yang penting jagungnya muda, empuk, manis, cukup ditambah saos sama mentega, enak, gurih, lezaaat..!”
SUBIAH (sambil mengolesi jagung yang hendak dibakar dengan saus) : “Makanya, sudah berapa kali kubilang, kamu mbok cari pekerjaan lain. Apa selamanya kamu akan seperti itu ? Menjadi wanita malam, menjadi budak nafsu laki-laki iseng. Ingat Sri, harkat dan martabat wanita, tak akan pernah terangkat jika masih ada orang yang melakukan pekerjaan seperti kamu itu.”
SRIWIT (memandangi Subiah) : “Embuh mbak, aku sudah tidak memikirkan lagi tentang harkat, martabat, harga diri … semua itu hanya omong kosong orang-orang yang katanya pinter, tapi hidupnya selalu keblinger. Aku juga tidak tahu lagi harus bagaimana.”
SUBIAH (berusaha meyakinkan) : “Ya kamu jangan sinis begitu Sri, jangan pesimis. Jangan skeptis menatap kehidupan ini ! Kamu tahu gak? kegagalan itu berasal dari diri kita sendiri. Kalau kita yakin kita bisa, pasti akan terwujud Sri! Percaya deh sama kata-kataku ini.”
SRIWIT (menyambar omongan Subiah) : “Walah-walah …! Mbak Subi …, ngomongnya tiba-tiba seperti orang – orang pinter itu. Pakai is … is … segala, sinis, skeptis, pesimis, amis amis …! Orang kecil kayak kita gak pantes mbak, mbak bicara begituan! Itu kan bahasanya orang gedongan.”
SUBIAH (bangkit dari duduknya, meninggalkan jagung yang akan dibakar. Berdiri dengan menggenggam kipas ditangan kanannya) : “Lho, bener Sri! Kita harus bisa memaknai realita, harus bisa menata hidup kita, diri kita, biar orang lain tidak mencibir, tidak mencemoohkan kita, meskipun sebenarnya kita bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Tapi setidak-tidaknya kalau hidup kita lurus, jujur, nrima ing pandum, tidak neka-neka, maka …”
SRIWIT : “Eh… Mbak, mbak Subi! Sampean ini kesambet ya? Kesurupan ya? Kesurupan siapa mbak? kesurupan Kanjeng Sunan? Sunan siapa mbak? Sunan Kali, Sunan Danau, Sunan Abang atau Sunan Kuning?”
BERKATA BEGITU SRIWIT SEMBARI MENDEKATI SUBIAH,BERUSAHA MEMEGANG JIDATNYA
SUBIAH (menghindar dari tangan Sriwit) : “Sri! Kamu ini dibilangi kok malah nyambet-nyambetke! Nyurup-nyurupke! Keras kepala banget kamu!
Kenapa? Apa kamu tidak suka dengan omonganku ini?”
SRIWIT (kembali ke tempat duduknya) : “Habis, Mbak Subi ngomongnya gitu, seperti Kyai atau dukun yang lagi ceramah. Aku memang tidak suka kamu ngomong gitu mbak.”
SUBIAH (menggeleng-gelengkan kepala) : “Ya nggak gitu Sri, maksudku mbok dalam cari makan, cari rejeki, nggak usah aneh-aneh, jangan lewat jalan-jalan kotor sepertimu. Lihat aku, meski pun hasilnya sedikit, tapi dimakan enak, di simpan juga jenak. Coba lihat kamu, berapa penghasilanmu semalam, tapi apa yang sudah kamu punya sekarang? Semua uang hasil jerih payahmu, menguap begitu saja, tidak meninggalkan apa-apa, ya kan?”
SRIWIT (sedih mendengar perkataan Subiah, dan matanya berkaca-kaca) : “Iya juga sih, mbak! Semula saya pikir dengan kerja begini, akan cepat mendapatkan uang yang bisa kukumpulkan buat modal apa kek, buka salon, buka warung, atau jual jagung sepertimu. Tapi kenyataannya, uang hasil kerjaku rasanya tak pernah betah bila kusimpan. Rasanya kok panas panas gimana gitu lho mbak!”
SUBIAH (menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan) : “Makanya, aku bilang juga apa, coba kamu renungkan apa yang tadi kukatakan! Kalau tidak dimulai dari sekarang, mau kapan lagi! Apa mau nunggu rambut hitammu berubah jadi putih? Kita ini sudah tua Sri, mbok eling sama umur. Lebih baik kamu cari satu laki-laki yang serius denganmu, yang benar-benar mencintai kamu. Dan berhentilah menjadi benalu dalam rumah tangga orang lain. Kita ini kan wanita, apa kamu tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya hati wanita yang kamu sakiti. Allah Maha adil Sri, Allah Maha tahu setiap apa yang umatnya lakukan. Tidak ada satupun perbuatan kita yang luput dari pengawasannya.”
SRIWIT : “Iya mbak, tapi…” (ragu-ragu)
SUBIAH (menyerobot perkataan Sriwit) : “Tapia pa Sri? Apa lagi? Tapi.. Tapi.. Tapi aja kerjaanmu tiap aku beri nasehat. Sekali-kali kamu ini nurut kenapa sih!”
SRIWIT HANYA DIAM DAN TERTUNDUK.
TIBA-TIBA ANAK YANG MEMBANGUN RUMAH - RUMAHAN – NAMAKAN SAJA KENANG - MENYELA DENGAN SATU PERTANYAAN
KENANG (wajah bingung) : “Mbak, mbak subiah, sekarang sudah jam berapa mbak?”
SUBIAH (menengok kearah Kenang) : “Baru jam setengah tujuh, masih sore, ada apa sih nang? Mau ada acara ya? Hayo mau janjian ya? Kok diem-diem gitu. Bukannya dikenalkan gitu loh…”
KENANG (tersenyum) : “Ah enggak, cuma tanya saja kok mbak! Mbak Subi ini pikirannya sudah ngelantur saja kemana-mana.”
MENJAWAB DEMIKIAN DIA KEMBALI ASYIK DENGAN AKTIVITASNYA
BLACKOUT
ADEGAN II
SEORANG PEREMPUAN YG SEBENARNYA BELUM TERLALU TUA, NAMUN PENDERITAAN TELAH MENGUBAH WAJAHNYA MENJADI TAMPAK LELAH. DIPUNDAKNYA TERGANTUNG SEBUAH BUNTALAN BESAR YANG NYATA TAMPAK BERATNYA. PAKAIANNYA YANG KUMUH MEMPERTEBAL CITRANYA SEBAGAI KAUM PENDERITA. SEMENTARA DI BELAKANGNYA SEORANG ANAK PEREMPUAN DENGAN PAKAIAN YANG TIDAK KALAH KUMALNYA. BERIRING MEREKA MELINTAS DI DEPAN SUBIAH DAN SRIWIT. SESEKALI SI ANAK MELEPASKAN PANDANGANNYA KE LANGIT.
NINA (melirik kearah emak) : “Mak, lihatlah sepertinya malam ini akan hujan, mak!”
MAK (heran) : “Memangnya kenapa? Tumben-tumbennya kamu mikirin hujan. Hujan aja gak mikirin kamu. Hujan itu berkah!”
NINA (muka bingung) : “Gawat mak, gawat! Waduh semoga saja tidak hujan!
Kalau sampai hujan, kita tidur di mana, mak? Dimana? Yah, bagaimana ini?”
MAK (sambil menoleh kanan kiri) : “Dimana? Kamu bertanya tidur dimana? Bukankah selama ini tempat tak pernah jadi masalah bagi kita? Hujan badai sekalipun tetap saja kita lontang-lantung kebingungan cari tempat tidur. Dimanapun itu yang penting badan bisa terlentang!
Ah kamu ini seperti baru sehari saja jadi gembel.” (tertawa)
NINA : “Iya mak, tapi tempat ini akan basah oleh hujan, mak!
(menengadahkan kedua tangan, sambil menatap langit) Ya Allah, semoga saja tidak turun hujan. Amin, amin.”
MAK (muka kesal) : “Akan…! Baru akan…, kamu sudah ribut begitu! Rempong deh ciin…”
NINA (menatap makI) : “Iya mak, tapi nanti benar – benar hujan mak! Pasti akan hujan! Pasti ini, sudah pasti! Benar-benar hujan, pasti akan hujan!”
MAK (nada mengejek) : “Benar – benar? Kamu bilang benar – benar? Apa ualngi lagi?”
NINA : “Iya mak, benar – benar hujan mak, nanti basah mak! Nanti basah dan aku bagaimana mak?”
(merengek) “Mak, nanti basah.”
MAK : “Apa kamu yakin? Sudah yakin belum? Benar kamu yakin?”
NINA : “Yakin mak! Yakin…!”
MAK : “Kok kamu bisa yakin? Jangan kepedean dulu deh! Memangnya apa yang buat kamu yakin?”
NINA : “Kan mendung mak, mendungnya tebal lagi, pasti nanti hujan mak! Lihatlah mak, itu disebelah sana mendung banget kan mak.” (menunjuk ke langit)
MAK : “Kamu yakin? Yakin banget sih, mala mini mau turun hujan!”
NINA : “Yakin mak! Aku yakin banget mak.”
MAK : “Benar – benar yakin kamu Na? Gak usah banyak omong, (memukul pundak Nina) sok tau kamu ini.”
NINA : “Yakin mak! Yakin pasti! Pasti hujan, mak! Mak kok gak percaya sih!”
MAK (heran) : “Kamu kok bisa memastikan begitu, apa kamu ini Tuhan? Ingat nak, mendung itu tak berarti hujan.”
NINA (nada sombong) : “Yach… Emak, untuk sebuah keyakinan, kepastian, apa harus menjadi Tuhan? aku kan belajar membaca tanda – tanda alam, mak! Walaupun kita ini orang kecil, tapi aku lumayan kok mak. Anakmu ini pinter lho mak, seperti Emak. Kalau kata pepatah itu, (berfikir) buah mm…. buah mm… buah apa ya mak?”
MAK : “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. (nada mengejek) Lah kamu ini lupaan banget, katanya pinter!”
NINA (berusaha meyakinkan) : “Tapi bener mak, nanti pasti akan turun hujan.”
MAK : “Bagus itu, berarti kamu ini “ngerti sak durunge winarah”, tahu bakal terjadinya sesuatu sebelum hal itu benar-benar terjadi!”
NINA (bangga) : “Ya begitulah, mak!”
MAK : “Dengan kata lain, kamu punya kemampuan meramalkan apa yang akan terjadi!”
NINA (semakin bangga) : “Ya…, kira – kira…. begitulah, mak!”
MAK : “Bagus, nanti kasih tahu mak, angka yang bakal keluar malam ini!”
NINA (bingung) : “Lho…? Maksudnya? Apa hubungannya? Gimana sih.”
MAK (sambil pergi – out) : “Nanti saja ngasih tahunya, disana, biar nggak didengar orang lain! Sekarang kita cari tempat tidur dulu!”
NINA (semakin bingung) : “Lho…, lho…, mak…? Kok pergi?”
DALAM KEBINGUNGANNYA KARENA DITINGGAL SANG EMAK, KENANG TIBA-TIBA MENYELA DENGAN SATU PERTANYAAN
KENANG : “mbak, mbak, sekarang jam berapa?”
NINA : “Nggak tahu, nggak punya jam! Memangnya ada apa?”
KENANG : “Nggak kok, cuma nanya aja!”
MENERUSKAN PEKERJAANNYA
NINA (jadi semakin bingung) : “Ooo… cah gemblung…!”
OUT
BLACK OUT
ADEGAN III
SUARA MOTOR MENDEKAT. MUSIK LEMBUT. SEORANG LAKI – LAKI, MUNGKIN PELANGGAN SRIWIT, MASUK DAN MENDEKATI SRIWIT. SUBIAH KEMBALI SIBUK DENGAN DAGANGANNYA. SI LAKI – LAKI TAMPAK BERBICARA DENGAN SRIWIT. MEREKA BERDUA DUDUK BERDAMPINGAN, TIDAK JAUH DARI DAGANGAN SUBIAH, TAPI AGAK TERSEMBUNYI. BEBERAPA ORANG DATANG MEMBELI JAGUNG BAKAR, SAMBIL MENUNGGU MEREKA MELIRIK SRIWIT DAN LAKI – LAKI ITU. BERBAGAI EKSPRESI MUNCUL, ADA YANG SENANG, BENCI, MAUAK, PENASARAN, DSB. BEBERAPA WAKTU KEMUDIAN SRIWIT DAN LAKI – LAKI PERG BERGANDENGANI. SUARA MOTOR MENJAUH.
BLACKOUT
ADEGAN IV
MUSIK LEMBUT TENTANG CINTA. KENANG YANG MASIH ASYIK DENGAN PEKERJAANNYA, TIBA – TIBA BERHENTI, MEMPERHATIKAN HASIL PEKERJAANNYA, BERTANYA , BERTERIAK, PADA SUBIAH
KENANG (menghampiri Subiah) : “Mbak Subiah, sekarang jam berapa? Nampaknya sudah terasa hampir tengah malam.” (menerawang ke langit)
SUBIAH (masih sibuk dengan dagangannya) : “Jam delapan malam! Sekarang ini baru jam delapan malam.”
KENANG : “Jam berapa mbak?”
SUBIAH (dengan suara keras) : “Jam dua puluh lebih empat menit! Aduh Kenang, ada apa sih denganmu. Dari kemarin yang ditanyakan selalu jam saja.”
SAAT BERIKUTNYA, KENANG BERDIRI DENGAN SELEMBAR KERTAS BERISI PUISI. DITEMPATNYA BERDIRI, DIA MULAI MEMBACA PUISI ITU DENGAN EKSPRESIF. MUSIK LEMBUT MASIH MENGALUN. SEIRING DENGAN ITU, ORANG – ORANG MULAI LEWAT DI DEPAN JUALAN SUBIAH, ADA YANG BERPASANGAN, ADA YANG BEROMBONGAN, ADA YANG SENDIRI. SEBAGIAN ADA YANG MENYEMPATKAN DIRI MEMBELI JAGUNG BAKAR SUBIAH. YANG LAIN HANYA LEWAT SAMBIL BERCAKAP DENGAN TEMAN SEPERJALANANNYA. (SEMUA DILAKUKAN DALAM GERAK TANPA SUARA. KARENA SUARA YANG TERDENGAR HANYA SUARA PUISI KENANG DAN MUSIK LEMBUT YANG TETAP MENGALIR)
Puisi yang dibaca kenang
KOTA TAK HENTI BERNYANYI
Tanah lapang
Air kelahiran
Kota tak henti bernyanyi
Nada – nada sumbang
Opera sejarah saling silang
Bertumbuk buram khayal penantian
Sinar merkuri rakus libas pesona kunang – kunang
Tanah lapang
Air kelahiran
Hijau rerumput memucat
Bilur wajah berlumur asap
Ludah - ludah membusa
Keringat merupa laut
Caci maki mengkabut
Dada rebah dilindas tumpukan propaganda
Malam ini, dua puluh lebih empat
Gemintang tak bergairah
Saksi keringat curah
Bonggol – bonggol membangun rumah
Dingin trotoar sehangat ranjang mimpi
Semimpi berpasang muda
Jelajahi lorong surga
Malam ini, dua puluh lebih empat
Ditanah lapang air kelahiran
Sejarah tak habis cerita
Kisah baru berdesak laju
Pahat hati batu – batu
YU JAGUNG BAKAR DAN YU LONTE ALUN-ALUN
Gelar….gelar…..gelar…..
Tikar-tikar di gelar
Botol-botol digelar
Arang-arang dibakar
Bongkol-bongkol dibakar
Yu, malam ini malam minggu
Berapa karung kau bawa untuk pelangganmu ?
Yu, malam ini malam minggu
Berapa tebal bedak gincu kau pakai untuk pelangganmu ?
Gelar….gelar….gelar…..
Tidak dengan getar
Tidak dengan gentar
Trotoar ini milikmu
Alun-alun ini milikmu
Gelar….gelar….gelar…..
Tidak dengan dupa atau asap kemenyan
Cukup tubuh rentan menahan dingin malam
Biar terhirup udara
Kurangkan sesak jiwa
Ketika rasa berpacu lari tinggalkan caci dan air mata
Menumpuk ingin menumpuk angan
Mengejar ingin mengejar angan
Hanya kepadamu yu,
Ku mampu bertatap.
BLACKOUT
ADEGAN V
SUARA PUISI MENGHILANG, MUSIK LEMBUT BERGANTI TEGANG. SUARA SEORANG PEREMPUAN MENGHENTAK DARI LUAR PANGGUNG. TAMPAKNYA DIA BEGITU MARAH, MENANGIS, CENDERUNG PUTUS ASA. KALIMATNYA JELAS MENGANCAM SESEORANG YANG SANGAT DIBENCINYA.
MINAH (nada tinggi dengan penuh amarah) : “Heh! Perempuan kurangajar! Dasar wanita malam! Apa tidak ada pekerjaan lain, selain mengganggu rumah tangga orang? Awas kamu Sri, tak bacok lehermu, biar mampus kamu! Sri! Sriwit! Dimana kamu? Jangan ngumpet kamu. Ayo tunjukkan batang hidungmu, pengecut! Ayo Sri…! Wanita malam! Ayo kesini, biar ku bacok – bacok kamu!”
“Kamu juga laki –laki tak tau di untung! Apa sudah jadi pengecut? Lihat anak – anakmu! Anak – anakmu yang tak pernah kamu perhatikan! Lihat! Dasar laki – laki tak bertanggung jawab. Bisanya cuma cari gendak’an. Mending kalau gundikmu perempuan baik – baik! Bukan wanita malam seperti si sriwit! Ayo, keluar kamu! Biar ku bunuh sekalian!”
(Dengan kemarahan yang meluap – luap, perempuan itu masuk, dengan sebilah sabit di tangannya, mendekati dasaran Subiah. Dia masih tetap meracau dengan kalimat – kalimat ancamannya)
“Sri..! Sriwit.! Ngumpet di mana kamu? He Subiah jagung bakar, kamu sembunyikan di mana Sriwit? Ha? Jangan coba melindungi dia! Nanti kamu ikut jadi korban kemarahanku! Mana? Mana Sriwit?”
SUBIAH (tetap tenang, tak terpengaruh dengan kehadiran perempuan itu, tetap asyik dengan dagangannya) : “Yo embuh! Memangya aku ibunya Sriwit apa? Kok nanya - nanya aku, apa hubungannya? Lagian, apa untungnya aku sembunyikan Sriwit?”
MINAH : “Kamu temannya kan? Tempat mangkalnya kan? Atau kamu induk semangnya, maminya, Sriwit? Kamu juga memperdagangkan wanita-wanita disini?”
SUBIAH (bicara dengan nada keras) : “Mbak, jangan ngawur ya bicaramu! Sriwit memang sering disini. Tapi bukan berarti aku maminya. Tempat ini kan tempat umum, siapa saja boleh disini. Memang hakku apa melarang dia?”
MINAH (masih dipenuhi dengan kemarahan) : “Ya kan? Ngaku kan kalau kamu temannya Sriwit? Buktinya kamu tau kalau Sriwit sering mangkal disini.”
SUBIAH (ganti membentak Minah) : “Iya! Benar! Sriwit memang temanku! Tapi apa salahnya? Kita berteman bukan berarti aku mendukung pekerjaan Sriwit. Kami itu punya pekerjaan masing-masing. terus kalau kami berteman kenapa? Masalah buat Mbak?”
MINAH : “Masalah banget dong! Apa kamu tidak tahu kalau Sriwit itu wanita malam?”
SUBIAH : “Memang kalau wanita malam kenapa?”
MINAH (Karena tidak kuat menahan kemarahan, akhirnya dia hanya bisa jatuh terduduk sambil menangis) : “Suamiku… suamiku, mbak!
SUBIAH (heran) : “Suamimu itu kenapa? Ada apa dengan suamimu?”
MINAH (pandangan menerawang, sambil menangis) : “Berbulan – bulan dia tidak pulang! Melupakan keluarga, melupakan anak dan istri. Tidak pernah lagi memberi nafkah. Siapa yang tidak marah, mbak? Siapa? Setelah saya cari – cari kabarnya, setiap malam dia selalu kesini. Dan selalu bersama Sriwit. Coba bayangkan, mbak, bayangkan! Suamiku itu kerjanya hanya buruh panggul di pasar, hasilnya tak seberapa. Masak selalu dihabiskan hanya untuk bermain gila dengan wanita malam itu. Sudah gitu, masih gila nomer lagi. Main togel tiap hari. Sementara anak – anak semakin membutuhkan biaya. Anak kami sudah empat mbak, yang besar baru saja masuk SMP. Dengan apa aku akan membiayai semua itu, kalau suamiku tidak peduli seperti ini?”
SUBIAH (melihat perempuan itu menangis, dia jatuh kasihan. Dibuatkannya segelas teh) : “Ya sudah, sabar! Diminum dulu tehnya, biar tenang! Nanti kalau kesini, temui dia, bicarakan baik – baik! Paling sebentar lagi juga datang ! Sabar ya, semua masalah pasti ada jalan keluarnya.”
MINAH (sambil terisak) : “Percuma, mbak! Sudah habis kesabaran saya! Tidak ada gunanya lagi bicara sama dia! Saya sudah begitu sakit hati mbak.”
SUBIAH : “Kita lihat saja nanti, sekarang tehnya diminum dulu, biar kamu sedikit lega,(sambil mengambilkan segelas teh) ayo minum dulu tehnya!”
KETIKA PEREMPUAN ITU MINUM TEHNYA, SEKONYONG – KONYONG SANG SUAMI MASUK, TANPA MENYADARI KALAU ISTRINYA ADA DISITU. DENGAN SANTAI DIA MELENGGANG, MENANYAKAN SRIWIT PADA SUBIAH. INI MEMBUAT SUBIAH JADI GUGUP
GITO : “Halo mbak Subiah! Ramaikah daganganmu? Sriwit mana? Sudah datang belum?”
SUBIAH (gugup) : “E…e..e, iya ramai! Sudah…e, belum… e, sudah …..!”
DALAM KEGUGUPANNYA, DIA MENCOBA MEMBERI TAHU DENGAN ISYARAT MATA
GITO (Belum menyadari, masih santai, mengambil jajanan subiah) : “Sudah apa belum? Mana dia sekarang?”
SUBIAH (menunjuk kearah Minah) : “Itu….! Itu…..! Itu dia.”
TANGANNYA MENUNJUK – NUNJUK KE PEREMPUAN. REFLEK PANDANGAN LAKI – LAKI MENGIKUTI ARAH TELUNJUK SUBIAH. KAGET DIA KETIKA DILIHATNYA SANG ISTRI YANG TAMPAK BERINGAS, DENGAN SEBILAH ARIT DI TANGANNYA.
MINAH (menahan amarah) : “Kang……! Kamu ini tega ya sama aku!”
GITO (terkejut) : “K…kau…! Kau….?”
MINAH : “Iya…..aku, kang! Ini aku istrimu yang selalu kamu campakkan.” (menunduk sedih)
GITO (dengan rasa takut) : “Me…..mengapa…..mengapa kamu…. kesini? Ada perlu apa kamu disini?”
MINAH : “Untuk membunuhmu! Diman tanggung jawabmu! Saya dan anak-anak membutuhkanmu, kamu malah enak-enakan dengan wanita malam itu!”
MENGEJAR SAMBIL MENGAYUN – AYUNKAN ARITNYA. LAKI – LAKI KETAKUTAN, BERLARI, SEMBUNYI DI BALIK SUBIAH, TERUS DIKEJAR, TERJADI KEJAR – KEJARAN, LAKI – LAKI OUT, TERUS DIKEJAR PEREMPUAN.
BLACKOUT
ADEGAN VI
SUBIAH MASIH DITEMPATNYA, SIBUK DENGAN DAGANGANNYA KETIKA BEBERAPA ORANG DENGAN MEMBAWA PERALATAN MASUK. SATU DIANTARANYA, PIMPINANNYA MUNGKIN, MENUNJUK – NUNJUK TEMPAT DAGANGAN SUBIAH. YANG LAIN MENGERTI! TANPA BICARA, ORANG – ORANG ITU MULAI MENYINGKIRKAN DAGANGAN SUBIAH. SUBIAH YANG SEMULA HANYA EMPERHATIKAN, MERASA DIPERLAKUKAN TIDAK ADIL, DIA PROTES. DIKEMBALIKANNYA DAGANGANNYA KE TEMPAT SEMULA. DIPINDAH LAGI. DIKEMBALIKAN LAGI. DIPINDAH LAGI. DIKEMBALIKAN DENGAN KESAL. DIPINDAH DENGAN MARAH, DILEMPAR, BERSERAKAN !
SUBIAH : “He! Apa-apaan ini? Apa yang kalian lakukan?”
PIMPINAN : “Kamu harus pindah dari sini!”
SUBIAH : “Memangnya kenapa?”
PIMPINAN : “Tempat ini akan digunakan untuk kepentingan umum!”
SUBIAH : “Kepentingan umum? Kepentingan umum apa?”
PIMPINAN : “Sudah! Hadu tak usah lamon cawa!”
SUBIAH (heran) : “Maksudmu ki opo? Ngomong sing jelas. Ora usah go bahasa planet. Nyong bingung.” (memegang kepala)
PIMPINAN : “Heh kamu, (menunjuk ajudan) ayo jelaskan kepada pedagang jagung ini, apa maksudku!”
AJUDAN 2 (memandang Subiah) : “ Mbak maksudnya, mbak itu gak usah kebanyakan mulut. Wes to trimo wae.”
PIMPINAN : “Uwes to nrimo wae!”
SUBIAH : “Jangan mentang-mentang kalian ini orang gedean, terus dengan gampangnya kalian menindas kami ya! Saya tidak terima diperlakukan seperti ini.”
PIMPINAN : “Malih! Ki mawat niku khapas/celaka.”
SUBIAH : “Oalah… kamu ini bikin kepalaku nambah pening!”
PIMPINAN (memberi syarat kepada ajudan untuk menerjemahkan)
AJUDAN 2 : “Mbak harus pindah. Atau mbak akan celaka!”
SUBIAH : “Lho? Memang apa salah saya?”
PIMPINAN : “Ooo ya jelas salah! (sambil melotot) anda sudah berjualan di atas lahan partai kami. Partai PSK!
SUBIAH : “Dari namanya saja sudah tidak beres! PSK, apa itu?”
AJUDAN 1 : “Partai Semua Kebagian.” (tertawa)
PIMPINAN : “Sekarang kamu pergi dari sini! Mau pergi sendiri secara baik-baik atau…
SUBIAH (memotong pembicaraan) : “Tidak!”
PIMPINAN : “Pindah!”
SUBIAH : “Tidak!”
PIMPINAN : “Pindah!”
SUBIAH : “Tidak!”
PIMPINAN MEMBERI ISYARAT PADA ANAK BUAHNYA. SUBIAH DITANGKAP, DIBEKUK, DISERET KELUAR. SUBIAH MERONTA – RONTA, TAPI TIDAK KUASA MELAWAN. BARANG – BARANG DAGANGANNYA DIACAK – ACAK ORANG – ORANG ITU. BERSERAKAN. KEMUDIAN ORANG – ORANG ITU MEMBAWA MASUK SEBUAH PAPAN BESAR, DIPASANG DI TEMPAT BEKAS DAGANGAN SUBIAH. SEBUAH PAPAN YANG BERTULISKAN P A R T A I.
BLACKOUT
SUBIAH : “Mau dibawa kemana dagangan saya?”
PIMPINAN : “Bisa diatur, (menatap serius)
asal kamu bias diajak kerja sama.”
SUBIAH : “Kerja sama? kerja sama yang bagaimana?”
PIMPINAN : “Kamu harus bantu saya, agar saya bias terpilih dalam pemilu nanti.”
SUBIAH : “Tidak! Aku tidak mau, cara kamu sudah tidak benar. Lebih baik aku punya sedikit uang tapi berkah
dari pada harus bekerja sama dengan orang sepertimu.”
SUBIAH PERGI MENINGGALKAN PIMPINAN DAN ORANG-ORANG YANG MERUSAK DAGANGANNYA, TIBA-TIBA DATANGLAH SRIWIT MENCARI SUBIAH DAN BERTEMULAH SRIWIT DENGAN PIMPINAN YANG TERLIHAT SOMBONG KARNA KEDUDUKANNYA. SRIWIT MENANYAKAN KEBERADAAN SUBIAH KEPADA PIMPINAN TERSEBUT. AKHIRNYA MEREKA SALING BERBINCANG-BINCANG DAN TERLIHAT MEREKA DALAM SEBUAH IKATAN HUBUNGAN YANG TERLARANG, YANG PADA AKHIRNYA MENYESATKAN KEDUANYA. PIMPINAN TERSEBUT TIDAK TERPILIH KARENA MASYARAKAT MENGETAHUI KEBUSUKAN YANG DILAKUKAN BERSAMA SRIWIT. KOTA ITU TAK HENTI BERNYANYI DENGAN BERBAGAI CERITA YANG TERSAJI.
SELESAI