Advertisement

Responsive Advertisement

Mencari Yang Riil di Panggung Monolog

(Menuju Festival Monolog DKL 2018)

Oleh Alexander GB
Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Lampung


Pada suatu malam, dan sesungguhnya di sejumlah perbincangan, yang sengaja atau tak sengaja, sebelum atau sesudah latihan, Ari Pahala Hutabarat kerap mengingatkan bahwa yang seharusnya dicari dan ditemukan setiap performer pada latihan atau pentas itu; yang riil. Yang riil bukan berarti harus realisme, riil yang dimaksud di sini adalah ia (aktor) benar-benar hadir di atas panggung (present).

Maka event yang jauh dari gegap gempita ide atau konsep penciptaan  atau narasi-narasi yang mengusung newdramaturgi ini, Komite Teater mengundang teman-teman, pelaku teater, untuk menengok kembali kerja keaktoran melalui Festival Monoton (monolog sing ditonton) II, yang rencananya dihelat tanggal 22 & 23 Desember 2018, di gedung teater Dewan Kesenian Lampung.
Durasi pertunjukan maksimal 30 menit.
Teks sebagai pijakan utama, sudah disiapkan, yaitu: Hati yang Meracau karya Edgar Allan Poe, Wanci karya Imas Sobariah, Monolog Tiga Kamar karya Iswadi Pratama, Prita Isteri Kita karya Arifin C Noer, dan Aeng karya Putu Wijaya.

Tentu saja, event ini tidak memungkinkan untuk memasuki arena yang lebih serius dari kerja keaktoran sebagaimana yang ditempuh Tony Broer, yang menelurkan ide tentang tubuh kata tubuh.  Pada satu kesempatan ia menyatakan bahwa persoalan tubuh dalam kontek ke kinian dalam dunia teater sekarang dibingkai oleh identitas-idealitas citra dan sensasi semu, akal sehat publik  dibekukan oleh logika komoditas yang telah menciptakan penataan ulang citra dan sistem tanda bersama, yang menyajikan fantasi  dan dorongan individual yang seolah bebas diekspresikan atau mengekspresikan. Tubuh yang bergerak pada sistem tanda itu bergerak bersama bukan pada sebagai kesatuan koheren, tetapi sebagai gerombolan yang akhirnya melahirkan tubuh gerombolan. Tubuh yang tanpa refleksi, tubuh bayang-bayang dari kebertubuhan yang akhirnya kehilangan bayangannya sendiri. Tidak sejauh itu. Sebab pada event ini aktor langsung dihadapkan pada tugas pemeranan, ada tokoh atau karakter yang harus diwujudkan di atas panggung, dalam bentuk naskah yang sudah disiapkan oleh penyelenggara.

Tidak pula hendak berhayal setiap penampil mampu mewujudkan apa yang dalam istilah Afrizal Malna sebagai Tubuh Bahasa. Semacam pencapaian aktor untuk membuat dirinya sendiri sebagai bahasa teater. Mengelak dari yang lazim kita saksikan dari aktor, yang hanya mengandalkan bahasa tubuh; cenderung sebatas menghasilkan teknik atas tubuh yang dilakukan aktor.  Afrizal pernah menulis bahwa banyak aktor yang bisa merepresentasikan sebuah pemeranan, tapi pemeranan itu sendiri gagal hadir sebagai sebuah teks.
Festival Monoton bisa menjadi ruang melakukan refleksi atau introspeksi, menengok kembali proses yang sudah kita jalani, menguji kesiapan tubuh dan perangkat keaktoran lainnya ketika berhadapan dengan naskah, tokoh-karakter, durasi dan ruang tertentu.  Penilaian dalam event ini, bukan bermaksud untuk mengurung pelaku teater, khususnya di Lampung, pada satu selera tertentu, namun lebih sebagai satu tindak evaluasi atas presentasi peserta berdasarkan aspek-aspek tertentu yang lazim digunakan untuk mengevaluasi atau mengapresiasi suatu pertunjukan.  Baik aspek yang sifatnya lahiriah, lakunya bisa dipahami, benar lakunya, maupun yang sifatnya mental-batin-emosional. Artinya pertunjukan yang baik memang dituntut benar secara lahir maupun bathin, understanding dan believable.
Ketika naskah sudah ditentukan, kemungkinan eksplorasi memang menjadi terbatas, termasuk alternatif gaya pemanggungannya. Dengan segala pembantasan tersebut, justru menjadi tantangan tersendiri bagi aktor, untuk menimbang, memilih atau memilah adegan-adengan tertentu, teknik tertentu yang mendukung pertunjukan.  Teknik menjadi penting, meski bukan segalanya, sebab tampak impuls jadi percuma, tanpa perancangan yang tepat, tanpa menimbang irama pertunjukan jadi membosankan, teknik menjadi tidak optimal. Maka. jika berpegang hanya pada teknik, pertunjukan jadi kering dan membosankan, seperti robot. Jika hanya berpegang pada aspek emosi, mungkin pertunjukan jadi tampak meyakinkan, tapi bentuk berantakan, seperti hantu. Dan ke duanya pasti menghasilkan laku yang tidak wajar.

Kualitas pertunjukan ditentukan oleh matangnya perencanaan, detail penggarapan, imaji, irama, dan totalitas aktor menggulirkan peristiwa demi peristiwa. Jadi keberhasilan seorang aktor bergantung pada kemampuannya mewujudkan ide (teks) yang abstrak itu menjadi riil (nyata) di atas panggung. Untuk menghadirkan peristiwa yang riil harus wajar, untuk menghasilkan laku yang wajar ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penampil yaitu setiap laku aktor harus tepat; tepat tafsirnya, tepat tubuhnya, tepat impulsnya, tepat porsi-takarannya.

Relevansi event ini, dalam pandangan saya sederhana. Tujuan kegiatannya adalah meningkatkan kualitas aktor (performer) di Lampung. Jika aktor-aktornya sudah keren, kemungkinan akan semakin banyak pertunjukan yang keren di Lampung. Sebab, berpijak dari sejumla pertunjukan akhir-akhir ini, konsep atau gagasan yang brilian, yang waww, jika kualitas aktornya tidak bagus,  maka konsep atau gagasan yang brilian tak akan pernah bisa diwujudkan secara keren di panggung. Tidak optimal. Sementara jika aktornya sudah keren, teks-naskah-naras- yang biasa saja, namun ketika dipresentasikan akan menjadi (tampak) istimewa.







Teater Jabal, Sanggar Jabal, Seni Pertunjukan, Seni Teater, Seni Drama, Pentas Produksi, Naskah Teater, Berita Seni

Posting Komentar

0 Komentar